Pages

Bangladeshi Blog

Rabu, 26 Desember 2007

Cermin Hati

Oleh: A. Mustofa Bisri

Kalau kita ingin melihat wajah kita sendiri, biasanya kita bersendiri dengan kaca ajaib yang lazim kita sebut cermin. Dari cermin itu kita bisa melihat dengan jelas apa saja yang ada di wajah kita; baik yang menyenangkan atau yang tidak, bahkan mungkin yang membuat kita malu.

Dengan cermin, kita mematut-matut diri. Barangkali karena itulah hampir tidak ada rumah yang tidak menyimpan cermin. Karena hampir semua orang ingin dirinya patut.

Tanpa bercermin kita tidak bisa melihat sendiri noda yang ada pada diri kita. Dan tanpa melihat sendiri noda itu, bagaimana kita tergerak menghilangkannya.

Di dalam Islam, ada dawuh,” Almu’minu miraatul mu’min”,” Orang mukmin adalah cermin mukmin yang lain”; “Inna ahadakum miraatu klhiihi”,” Sesungguhnya salah seorang di antara kamu adalah cermin saudaranya. Artinya masing-masing orang mukmin bisa –atau seharusnya-- menjadi cermin mukmin yang lain. Seorang mukmin dapat menunjukkan noda saudaranya, agar saudaranya itu bisa menghilangkannya.

Dalam pengertian yang lain, untuk mengetahui noda dan aib kita, kita bisa bercermin pada saudara kita. Umumnya kita hanya –dan biasanya lebih suka—melihat noda dan aib orang lain. Sering kali justru karena kesibukan kita melihat aib-aib orang lain, kita tidak sempat melihat aib-aib kita sendiri.

Di bulan suci, dimana kita bisa tenang bertafakkur memikirkan diri sendiri --dan inilah sesungguhnya yang penting—, kadang-kadang kita masih juga kesulitan untuk melihat kekurangan-kekurangan kita. Satu dan lain hal, karena kita enggan memikirkan kekurangan-kekurangan diri sendiri. Maka bercermin pada orang lain kiranya sangat perlu kita lakukan.

Seperti kita ketahui, melihat orang lain adalah lebih mudah dan jelas katimbang melihat diri sendiri. Marilah kita lihat orang lain, kita lihat aib-aib dan kekurangan-kekurangannya; lalu kita rasakan respon diri kita sendiri terhadap aib-aib dan kekurangan-kekurangan orang lain itu. Misalnya, kita melihat kawan kita yang sikapnya kasar dan tak berperasaan; atau kawan kita yang suka membanggakan dirinya dan merendahkan orang lain; atau kawan kita yang suka menang-menangan, ingin menang sendiri; atau kawan kita yang bersikap atau berperangai buruk lainnya. Kira-kira bagaimana tanggapan dalam diri kita terhadap sikap kawan-kawan kita yang seperti itu?

Kita mungkin merasa jengkel, muak, atau minimal tidak suka. Kemudian marilah kita andaikan kawan-kawan kita itu kita dan kita adalah mereka. Artinya kita yang mempunyai sikap dan perilaku tidak terpuji itu dan mereka adalah orang yang melihat. Apakah kira-kira mereka juga jengkel, muak, atau minimal tidak suka melihat sikap dan perilaku kita? Kalau jawabnya tidak, pastilah salah satu dari kita atau mereka yang tidak normal.

Normalnya, adalah sama. Sebagaimana kita tidak suka melihat perangai buruk orang lain, orang lain pun pasti tidak suka melihat perangai buruk kita. Demikian pula sebaliknya; apabila kita senang melihat perangai orang yang menyenangkan, orang pun pasti akan senang apabila melihat perangai kita menyenangkan.

Namun kadang-kadang kita seperti tidak mempunyai waktu untuk sekedar bercermin, melihat diri kita sendiri pada orang lain seperti itu. Hal ini mungkin disebabkan oleh ego kita yang keterlaluan dan menganggap bahwa yang penting hanya diri kita sendiri, hingga melihat orang lain, apalagi merasakan perasaannya, kita anggap tidak penting. Orang lain hanya kita anggap sebagai figuran dan kitalah bintang utama.

Ada sebuah hadis sahih yang sering orang khilaf mengartikannya. Hadis sahih itu berbunyi Laa yu’minu ahadukum hattaa yuhibba liakhiihi maa yuhibbu linafsihi. Banyak yang khilaf mengartikan hadis ini dengan: “Belum benar-benar beriman salah seorang di antara kamu sampai dia menyintai saudaranya sebagaimana menyintai dirinya.” Pemaknaan ini kelihatannya benar, tapi ada yang terlewatkan dalam mencermati redaksi hadis tersebut. Disana redaksinya yuhibba liakhiihi (menyintai untuk saudaranya), bukan yuhibba akhaahu (menyintai saudaranya), Jadi semestinya diartikan “Belum benar-benar beriman salah seorang di antara kamu sampai dia senang atau menyukai untuk saudaranya apa yang dia senang atau menyukai untuk dirinya sendiri”.

Artinya apabila kita senang atau suka mendapat kenikmatan, misalnya, maka kita harus –bila ingin menjadi sebenar-benar mukmin—juga senang atau suka bila saudara mendapat kenikmatan. Apabila kita senang diperlakukan dengan baik, kita pun harus senang bila saudara kita diperlakukan dengan baik. Apabila kita senang jika tidak diganggu, kita pun harus senang bila saudara kita tidak diganggu. Demikian seterusnya.

Bukanlah mukmin yang baik orang yang senang dihormati tapi tidak mau menghormati saudaranya dan tidak senang bila saudaranya dihormati. Bila pengertiannya dibalik. Bukanlah mukmin yang baik orang yang tidak suka dihina, tapi suka menghina saudaranya dan suka bila saudaranya dihina.

Demikianlah kita bisa memperpanjang misal bagi ajaran hadis yang mulia itu dengan melihat cermin. Saudara kita adalah cermin kita.

Memaafkan dengan Hati

Disebutkan bahwa pada bulan suci Ramadhan anugerah Allah dibagi menjadi tiga bagian; sepuluh hari pertama berupa rahmah, sepuluh hari kedua maghfirah, dan hari-hari selebihnya I’qun minnaar.

Mukmin yang berutung, setelah mengisi Ramadhan dengan berbagai amalan yang dianjurkan, akan mendapat ketiga-tiganya : rahmat Allah, pengampunan-Nya, dan bebas dari api mereka. Mudah-mudahan kita semua termasuk yang beruntung itu, minal faaizin ! Amin.

Apalagikah yang mendapat kita jadikan tumpuan harapan kalu bukan mudah-mudahan atau semoga ? Nabi Muhammad SAW saja tidak berani mengandalkan amalan, hanya nyodong rahmat-Nya.

Bagaimana pula kita yang kadang hanya berpuasa menahan makan dan minum ? Lebih jauh hanya berpuasa menahan syawat kelamin maksimal 12 jam. Kita sering menahan mulut dari dusta, berbicara buruk dan membicarakan keburukan orang lain; mengabaikan puasa menahan mata dari memandang hal-hal yang haram; mengabaikan puasa menahan tangan dari berbuat jail; dan mengabaikan kaki dari melangkah kewilayah-wilayah yang menjerumuskan kemaksiat.

Lebih sering lagi mengabaikan puasa menahan diri dari amarah, hasut, dengki, takabur, mengangap diri paling baik, paling hebat.

Memang ada dawuh yang mengatakan bahwa puasa adalah antara kita dan Allah. Namun yang acap kali kita lupakan ialah bahwa “antara kita dan Allah” itu hanyalah berkaitan dengan “kita’ yang berpuasa dan “Allah” yang mengajarnya.

Puasa itu sendiri tidak semata-mata amalan individual. Puasa tersebut menjadi ringan justru karena kita melakukan bersama-sama. Demikian pula, salat tarawih dan salat witir. (Berapa diantara kita yang biasa melakukan salat witir sendirian ?)

Ketika kita berbuka hingga kekenyangan dan tenaga kita tak menemukan sesuatau untuk berbuka, kita tahu betapa beratnya ancaman. Kelaparan dan kehausan kita di siang dari semestinya mendarkan kita bertapa beratnya saudara kita yang lapar dan haus siang dan malam.

Kedermawanan kita pun diharapkan dapat menaklukan yang melekat pada diri kita. Karena itu, -wallahu a’lam- kegiatan memberikan santunan zakat mengikuti dan mengiring kegiatan puasa.

Puasa sebagai latihan menahan diri bukan saja berkaitan dengan pengekangan nafsu dan syahwat dari dan untuk kita sendiri. Apalagi kita sudah menahan syahwat dan nafsu pribadi untuk tidak makan dan minum dan bersetubuh, tapi kita tidak bisa menahan diri dari marah, dengki dan menyakiti hati orang lain, kita khawatir termasuk mereka yang menurut khadis tersebut- disebut puasa hanya mendapatkan lapar dan haus belaka. Na’uzu billah.

Ya kepada, Allah kita berharap banyak, “Ana ‘inda zhannai’ abdi bii” firman Allah dalam sebuah hadis Qudsi, “Aku mengikuti keyakinan hamba-hamba-Ku”. Bila seorang hamba yakin akan menerima amalnya. Bila ia yakin Allah akan mengampuni dosanya, Allah pun akan mengampuninya. Demikian sebaliknya. Disamping itu, Allah maha baik. Tidak hanya suka memberi, tapi juga suka dimintai hamba-hamba-Nya. Ia Maha pengampun yang suka mengampuni hamba-Nya. Ia berbuat baik dan memberi ampun tanpa pamrih apa pun.

Berbeda dengan manusia yang betapa pun baiknya tidak sebaik itu. Bahkan mungkin lebih banyak yang mengembalikannya. Kebaikannya pun sering berpamrih’ oleh karena itu saya sering mengatakan, bergaul dengan Allah jauh lebih baik jika bergaul dengan manusia. Allah gampangan sedangkan manusia umumnya sulit dan menyulitkan.

Kurang-kurang sedikit pekerjaan yang kita lakukan atas perintah-Nya, asal kita benar-benar berusaha mengepa-ngepaskan kerja kita sesuai perintah-Nya, insyaAllah, Allah akan memaklumi dan memaafkan kekurangannya. “Saddiduu wa Qaaribu !” sabda Rasulullah SAW; Pas-paskanlah, kalu tidak pas betul, minimal mendekati.

Bandingkan dengan umumnya majikan manusia. Jangankan kurang sedikit kadang-kadang sudah pas pun masih menampakan kekurangpuasannya. Anehnya, sikap kita sering terbalik. Terhadap Allah yang mengampangkan begitu kita malah sok pethenthengan. Kepada hamba yang sembahyang kurang pas sedikit saja menghadap kiblat, kita marah-marah. Ada orang buka warung memang pekerjaanya warungan di siang bulan Ramadhan saja kita marah. Seolah-olah kita khawatir tergoda makan jika ada warung buka. Berlebaran tidak sesuai hisab atau rukyat saja geger. Seolah-olah Ied adalah hak kita, bukan hak Allah.

Sementara terhadap manusia yang tidak gampang, menganggap gampang. Enak saja kita berbuat sesuatu tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain. Bahkan sudah tahu kita tidak suka dibohongi, dengan gampang kita membohongi orang lain. Kita tidak suka dilukai dengan gampang kita melukai orang lain. Kita tidak suka hak kita dirampas dengan gampang kita merampas hak orang lain.

Padahal, kesalahan kita kepada sesama ada hisabnya dan tidak otomatis terampuni tanpa kita mendapatkan pemaafan dari yang bersangkutan. Betapapun baiknya sikap kita terhadap Allah kita berlaku semena-mena kita perlu mulai khawatir akan nasib kita kelak di kemudian hari.

Waba’du, beruntunglah kita punya tradisi unik dalam memeriahkan Idul fitri. Di dalamnnya ada acara silaturohmi diantara kita. Marilah kita gunakan kesempatan silaturohmi itu sebaik-baiknya. Kita gunakan saling mengakui kesalahan dan memohon maaf sekaligus berjanji dalam hati, untuk selanjutnya akan lebih berhati-hati dalam pergaulan. Mudah-mudahan dengan demikian kita akan menjadi manusia fitri kembali.
Oleh: A. Mustofa Bisri

Takwa dan Sikap Sederhana

Takwa dan Sikap Sederhana

Oleh: A. Mustofa Bisri

Takwa, seperti galibnya istilah popular yang lain, sudah dianggap maklum; karenanya jarang orang yang merasa perlu membicarakannya lebih jauh. Secara sederhana, takwa dapat diartikan sebagai sikap waspada dan hati-hati. Hati-hati menjaga agar tidak ada perintah Allah yang kita abaikan. Hati-hati menjaga agar tidak ada larangan-Nya yang kita langgar. Hati-hati menjaga agar dalam melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya tidak justru menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang telah Ia gariskan.

Dan tidak kalah penting dari itu semua adalah kehati-hatian menjaga keikhlasan kita. Kita perlu waspada dan hati-hati menjaga agar pelaksanaan perintah Allah maupun penghindaran dari larangan-Nya, semata-mata karena Allah. Melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya adalah demi dan karena Allah; bukan demi nafsu dan keinginan diri kita atau karena dorongan pamrih-pamrih yang lain.

Kita hidup untuk beribadah, dan kita beribadah semata mengharap ridha Allah dan bukan mencari ridha dan kepuasan diri sendiri. Dalam ibadah mahdhah atau yang bersifat ritual, seperti sembahyang, berpuasa, dan sebagainya, ketulusan mencari ridha Allah ini mungkin relatif lebih mudah dibanding dengan ibadah yang bersifat sosial, seperti berbuat baik kepada sesama misalnya. Oleh karenanya, sudah sewajarnyalah apabila kita lebih berhati-hati dan terus mewaspadai ketulusan batin kita dalam hal melakukan ibadah-ibadah yang bersifat sosial itu.

Misalnya dalam melaksanakan ibadah sosial ingin memperbaiki keadaan dan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara di Tanah Air, untuk menciptakan Indonesia baru yang lebih baik, kita perlu pula terus mewaspadai niat batin kita. Kita perlu selalu bertanya kepada diri-diri kita sendiri, untuk apa sebenarnya kita berjuang. Kita berjuang untuk Tanah Air demi mendapatkan ridha Allah, ataukah sekedar untuk memuaskan nafsu dan kepentingan kita atau kelompok kita sendiri?

Getir rasanya dan sekaligus geli kita mendengar banyak orang yang meneriakkan slogan-slogan mulia, seperti akhlakul karimah; ukhuwwah islamiyah; membangun masyarakat yang beradab, dan lain sebagainya, namun dalam pada itu mereka sekaligus bersikap dan berperilaku yang tidak berakhlak, menebarkan permusuhan di antara sesama saudara.

Alangkah tertipunya mereka yang merasa diri dan bahkan mengaku-aku berjuang demi hal-hal yang mulia, seperti demi agama dan demi negara, tapi tindak-tanduknya justru menodai kemulian itu sendiri. Bahkan ada yang-na’udzubillah-meneriakkan asma Allah sambil memperlihatkan keganasannya kepada sesama hamba Allah.

Mereka itu umumnya tertipu oleh semangat mereka sendiri. Setan paling suka dan paling lihai menunggangi semangat orang yang bodoh atau kurang pikir, untuk dibelokkan dari tujuan mulia semula. Mereka yang katanya berjuang ingin menegakkan demokrasi, misalnya, karena terlalu bersemangat, tiba-tiba justru menjadi orang-orang yang sangat tidak demokratis; tidak menghormati perbedaan dan bahkan menganggap musuh setiap pihak yang berbeda. Demikian pula, mereka yang katanya ingin berjuang untuk agama, menegakkan syariat Tuhan, karena terlalu bersemangat, sering kali justru dibelokkan oleh setan dan tanpa sadar melakukan hal-hal yang tak pantas dilakukan oleh orang yang ber-Tuhan dan beragama, seperti sudah dicontohkan di muka.

Lebih konyol lagi, apabila yang tergoda melakukan hal-hal bodoh semacam itu adalah mereka yang sudah terlanjur dijadikan atau dianggap imam dan panutan. Karena, para pengikut biasanya akan bertindak lebih bodoh lagi. Seorang panutan cukup memaki untuk membuat para pengikutnya membenci, seperti halnya guru cukup kencing berdiri untuk membuat murid-muridnya kencing berlari.

Biasanya, kekonyolan terjadi lantaran sikap yang berlebihan. Sikap berlebihan tidak hanya dapat membuat orang sulit berlaku adil dan istiqamah, tapi sering kali dapat menjerumuskan orang kepada tindakan yang bodoh. Berlebihan dalam menyintai atau sebaliknya membenci, acap kali membuat orang bersikap konyol. Bahkan, orang yang berlebihan dalam mencintai diri sendiri, dapat kehilangan penalaran warasnya, sebagaimana terjadi pada mereka yang mengangkat diri sebagai imam, nabi, bahkan titisan malaikat Jibril. Mereka yang berlebihan menyintai imamnya pun pada gilirannya juga kehilangan penalaran sehatnya.

Rasanya kita perlu membiasakan kembali sikap hidup sederhana, sebagaimana diajarkan dan dicontohkan kanjeng Nabi Muhammad SAW. Maka, kita dapat dengan lebih mudah berlaku adil dan istiqamah, dapat memandang sesuatu tanpa kehilangan penalaran seseorang

Senyumlah

"Senyum biayanya lebih kecil dibanding dengan listrik, tapi dijamin lebih banyak cahayanya"

Pada Sebuah Kearifan Lingkungan

Suatu hari, Abu Yazid al-Busthami bersama temannya mencuci pakaian di tengah padang. Saat tiba waktu menjemur, sang teman berkata, “Gantung saja pakaian ini di tembok dengan memutar.” Mendengar usulan temannya, Abu Yazid kontan menjawab tidak setuju, ”Jangan menyelipkan baju di tembok orang.”

Karena tidak disetujui, sang teman memberikan pilihan lain, ”Kalau begitu, jemur saja di pohon.” Abu Yazid kembali mencegah,”Jangan, nanti rantingnya bisa patah.” Mendapat penolakan kedua kalinya, sang teman mulai heran, ”Apakah kita jemur di atas rumput?’ Lagi-lagi, Abu Yazid menunjukkan ketidaksenangannya, ”Jangan, rumput itu makanan binatang.” Sertamerta, Abu Yazid meletakkan pakaian yang masih basah itu di punggungnya. Begitu sisi pakaian kering, ia balik lagi untuk sisi lain hingga kering keseluruhan dan dipakainya kembali.

Kisah di atas, adalah sederma sikap sufi yang begitu eman dan mencintai lingkungan. Bagi sufi, semua yang ada di alam semesta adalah makhluk Allah yang harus dipiara dan dilindungi.

Namun, kenapa kini dunia banyak dilanda bencana? Pemanasan global telah menjadi momok masyarakat dunia. Bencana-bencana alam seperti banjir bandang, longsor, kekeringan dan kebakaran hutan yang telah memusnahkan jutaan tumbuhan dan hewan-hewan yang tak ternilai harganya, serta erosi, polusi udara dan air, hanyalah beberapa contoh kecil. Secara simbolis, semua itu menunjukkan betapa alam telah marah kepada manusia atas perlakuan yang tidak bermoral atasnya.

Pandangan sekuler tentang alam memang telah menghasilkan kemajuan-kemajuan ilmiah dan teknologi yang cukup berarti bagi kemakmuran dan kesejahteraan umat manusia. Di sisi lain, pandangan sekuler-moderen juga telah menciptakan berbagai masalah dalam hubungan manusia dengan alam. Manusia moderen menjadi semakin teralienasi dari alam, setelah mereka menciptakan jurang yang tak terjembatani antara keduanya, yakni manusia sebagai subjek dan alam sebagai objek.

Dengan memandang alam semata-mata sebagai objek, nafsu manusia moderen telah mengeksploitasi alam secara kasar untuk memenuhi tuntutan nafsu mereka yang terus menerus meningkat dan tidak pernah ada puasnya.

Menurut kaum sufi, manusia telah menjadi bagian dari alam. Manusia menempati posisi yang sangat istimewa dalam keseluruhan tatanan alam semesta dan kosmik. Manusia dipandang sebagai tujuan akhir penciptaan dan juga sekaligus sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. Karena alasan tersebut, maka manusia telah diberikan hak untuk mengelola alam.

Tapi, hak tersebut hanya sejauh atau berkat bentuk teomorfiknya dan bukan sebagai hak untuk memberontak melawan langit, sebagaimana pemberontakan yang dilakukan oleh manusia moderen terhadap Tuhan. Manusia adalah saluran berkah Tuhan bagi alam, yakni melalui partisipasinya yang aktif dalam dimensi spritual alam. Manusia adalah mulut di mana jasad alam bernafas dan hidup.

Bagi para sufi, alam tidak akan pernah menjadi semata objek-objek yang mati untuk mengabdi pada manusia. Alam adalah sebuah wujud hidup yang mampu mencinta dan dicinta.

Jika manusia moderen cenderung melihat alam hanya dari aspek fisiologis dan kuantitatifnya serta memandang bahwa alam harus dikontrol dan dikuasai demi semata-mata kepentingan manusia, maka para sufi melihatnya sebagai simbol. Dari simbol-simbol alam itu dapat ditangkap isyarat mengenai realitas-realitas yang lebih tinggi.

Menurut para sufi, alam adalah cermin universal yang memantulkan apa pun yang ada di dunia-dunia atas. Keberadaan alam menjadi sebuah panorama simbol yang luas yang berbicara kepada manusia dan memiliki makna baginya. Dalam konteks inilah, seorang sufi menyebut alam sebagai bayangan, yakni bayangan dari Tuhan Yang Maha Esa.

Abu Bakar Sirajuddin menyatakan bahwa tidak ada satu pun di alam yang lebih dari sekadar bayangan. Bahkan, jika ada sebuah dunia yang tidak memberi bayangan dari atas, dunia di bawahnya akan musnah seketika, karena tiap dunia dalam ciptaan ini tidak lebih dari sebuah jaringan bayang-bayang alias the tissue of the shadows. Seluruh tampilan dalam berbagi bayangan itu, secara keseluruhan tergantung pada arketip-arketip dunia di atasnya.

Menurut para sufi, manusia tidak cukup berhenti pada ajaran teoritis, tapi juga harus bergerak pada peristiwa sejati jiwa. Ini berarti, bahwa seseorang harus menyeberangi seluruh teluk atau jurang yang memisahkan kepastian ilmu-ilmu teoritis dan kepastian dari pengetahuan gnostik yang terhayati dan terealisasi secara personal.

Dari lubuk alam yang dalam, manusia harus berusaha mengatasi alam, dan alam sendiri yang berfungsi sebagai tangga. Keberadaan alam dapat bertindak sebagai penopang dalam proses ini. Dari dorongan untuk mentransenden alam dan juga untuk menyeberangi jurang antara pengetahuan teoretis dan pengetahuan diri yang terealisasi (self realized knowledge), ide tentang pengembaraan spiritual, muncul ke permukaan dalam begitu banyak karya mistik dan filosofis.

Dalam keseluruhan karya para sufi sangat terbaca pemikiran yang mengungkapkan secara simbolis dan indah mengenai pelajaran mereka sendiri ke dunia spiritual. Semua ini, bukan berarti hanya sekadar cerita-cerita fiktif, tapi merupakan refleksi dari perjalanan spiritual mereka kepada realitas sejati, al Haqq. Seperti halnya, dalam karya fiktif-naratif Ibnu Sina (wafat 1037), yaitu Risalah al Thayr.

Akhirnya, bagi para sufi, tempat di mana kita hidup sekarang, hanyalah satu dari dunia lainnya. Ia bertindak sebagai tangga dan hanya melalui tangga itulah manusia bisa melakukan pendakian spiritual, mi'raj untuk bisa menuju puncak wujud, yaitu Tuhan. Al-Quran menyatakan sesungguhnya kita adalah milik Tuhan dan kepada-Nyalah kita akan kembali.

Tips Meredam Marah

Marah dan emosi adalah tabiat manusia. Kita tidak dilarang marah, namun diperintahkan untuk mengendalikannya agar tidak sampai menimbulkan efek negatif. Dalam riwayat Abu Said al-Khudri Rasulullah saw bersabda Sebaik-baik orang adalah yang tidak mudah marah dan cepat meridlai, sedangkan seburuk-buruk orang adalah yang cepat marah dan lambat meridlai (H.R. Ahmad).

DAlam riwayat Abu Hurairah dikatakan Orang yang kuat tidaklah yang kuat dalam bergulat, namun mereka yang bisa mengendalikan dirinya ketika marah (H.R. Malik).


Menahan marah bukan pekerjaan gampang, sangat sulit untuk melakukannya. Ketika ada orang bikin gara-gara yang memancing emosi kita, barangkali darah kita langsung naik ke ubun-ubun, tangan sudah gemetar mau memukul, sumpah serapah sudah berada di ujung lidah tinggal menumpahkan saja, tapi jika saat itu kita mampu menahannya, maka bersyukurlah, karena kita termasuk orang yang kuat.

Cara-cara meredam atau mengendalikan kemarahan:

1. Membaca Ta'awwudz. Rasulullah bersabda Ada kalimat kalau diucapkan niscaya akan hilang kemarahan seseorang, yaitu A'uudzu billah mina-syaithaani-r-rajiim Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk (H.R. Bukhari Muslim).

2. Berwudlu. Rasulullah bersabda Kemarahan itu itu dari syetan, sedangkan syetan tercipta dari api, api hanya bisa padam dengan air, maka kalau kalian marah berwudlulah (H.R. Abud Dawud).

3. Duduk. Dalam sebuah hadist dikatakanKalau kalian marah maka duduklah, kalau tidak hilang juga maka bertiduranlah (H.R. Abu Dawud).

4. Diam. Dalam sebuah hadist dikatakan Ajarilah (orang lain), mudahkanlah, jangan mempersulit masalah, kalau kalian marah maka diamlah (H.R. Ahmad).

5. Bersujud, artinya shalat sunnah mininal dua rakaat. Dalam sebuahhadist dikatakan Ketahuilah, sesungguhnya marah itu bara api dalam hati manusia. Tidaklah engkau melihat merahnya kedua matanya dan tegangnya urat darah di lehernya? Maka barangsiapa yang mendapatkan hal itu, maka hendaklah ia menempelkan pipinya dengan tanah (sujud). (H.R. Tirmidzi)