Pages

Bangladeshi Blog

Rabu, 26 Desember 2007

Cermin Hati

Oleh: A. Mustofa Bisri

Kalau kita ingin melihat wajah kita sendiri, biasanya kita bersendiri dengan kaca ajaib yang lazim kita sebut cermin. Dari cermin itu kita bisa melihat dengan jelas apa saja yang ada di wajah kita; baik yang menyenangkan atau yang tidak, bahkan mungkin yang membuat kita malu.

Dengan cermin, kita mematut-matut diri. Barangkali karena itulah hampir tidak ada rumah yang tidak menyimpan cermin. Karena hampir semua orang ingin dirinya patut.

Tanpa bercermin kita tidak bisa melihat sendiri noda yang ada pada diri kita. Dan tanpa melihat sendiri noda itu, bagaimana kita tergerak menghilangkannya.

Di dalam Islam, ada dawuh,” Almu’minu miraatul mu’min”,” Orang mukmin adalah cermin mukmin yang lain”; “Inna ahadakum miraatu klhiihi”,” Sesungguhnya salah seorang di antara kamu adalah cermin saudaranya. Artinya masing-masing orang mukmin bisa –atau seharusnya-- menjadi cermin mukmin yang lain. Seorang mukmin dapat menunjukkan noda saudaranya, agar saudaranya itu bisa menghilangkannya.

Dalam pengertian yang lain, untuk mengetahui noda dan aib kita, kita bisa bercermin pada saudara kita. Umumnya kita hanya –dan biasanya lebih suka—melihat noda dan aib orang lain. Sering kali justru karena kesibukan kita melihat aib-aib orang lain, kita tidak sempat melihat aib-aib kita sendiri.

Di bulan suci, dimana kita bisa tenang bertafakkur memikirkan diri sendiri --dan inilah sesungguhnya yang penting—, kadang-kadang kita masih juga kesulitan untuk melihat kekurangan-kekurangan kita. Satu dan lain hal, karena kita enggan memikirkan kekurangan-kekurangan diri sendiri. Maka bercermin pada orang lain kiranya sangat perlu kita lakukan.

Seperti kita ketahui, melihat orang lain adalah lebih mudah dan jelas katimbang melihat diri sendiri. Marilah kita lihat orang lain, kita lihat aib-aib dan kekurangan-kekurangannya; lalu kita rasakan respon diri kita sendiri terhadap aib-aib dan kekurangan-kekurangan orang lain itu. Misalnya, kita melihat kawan kita yang sikapnya kasar dan tak berperasaan; atau kawan kita yang suka membanggakan dirinya dan merendahkan orang lain; atau kawan kita yang suka menang-menangan, ingin menang sendiri; atau kawan kita yang bersikap atau berperangai buruk lainnya. Kira-kira bagaimana tanggapan dalam diri kita terhadap sikap kawan-kawan kita yang seperti itu?

Kita mungkin merasa jengkel, muak, atau minimal tidak suka. Kemudian marilah kita andaikan kawan-kawan kita itu kita dan kita adalah mereka. Artinya kita yang mempunyai sikap dan perilaku tidak terpuji itu dan mereka adalah orang yang melihat. Apakah kira-kira mereka juga jengkel, muak, atau minimal tidak suka melihat sikap dan perilaku kita? Kalau jawabnya tidak, pastilah salah satu dari kita atau mereka yang tidak normal.

Normalnya, adalah sama. Sebagaimana kita tidak suka melihat perangai buruk orang lain, orang lain pun pasti tidak suka melihat perangai buruk kita. Demikian pula sebaliknya; apabila kita senang melihat perangai orang yang menyenangkan, orang pun pasti akan senang apabila melihat perangai kita menyenangkan.

Namun kadang-kadang kita seperti tidak mempunyai waktu untuk sekedar bercermin, melihat diri kita sendiri pada orang lain seperti itu. Hal ini mungkin disebabkan oleh ego kita yang keterlaluan dan menganggap bahwa yang penting hanya diri kita sendiri, hingga melihat orang lain, apalagi merasakan perasaannya, kita anggap tidak penting. Orang lain hanya kita anggap sebagai figuran dan kitalah bintang utama.

Ada sebuah hadis sahih yang sering orang khilaf mengartikannya. Hadis sahih itu berbunyi Laa yu’minu ahadukum hattaa yuhibba liakhiihi maa yuhibbu linafsihi. Banyak yang khilaf mengartikan hadis ini dengan: “Belum benar-benar beriman salah seorang di antara kamu sampai dia menyintai saudaranya sebagaimana menyintai dirinya.” Pemaknaan ini kelihatannya benar, tapi ada yang terlewatkan dalam mencermati redaksi hadis tersebut. Disana redaksinya yuhibba liakhiihi (menyintai untuk saudaranya), bukan yuhibba akhaahu (menyintai saudaranya), Jadi semestinya diartikan “Belum benar-benar beriman salah seorang di antara kamu sampai dia senang atau menyukai untuk saudaranya apa yang dia senang atau menyukai untuk dirinya sendiri”.

Artinya apabila kita senang atau suka mendapat kenikmatan, misalnya, maka kita harus –bila ingin menjadi sebenar-benar mukmin—juga senang atau suka bila saudara mendapat kenikmatan. Apabila kita senang diperlakukan dengan baik, kita pun harus senang bila saudara kita diperlakukan dengan baik. Apabila kita senang jika tidak diganggu, kita pun harus senang bila saudara kita tidak diganggu. Demikian seterusnya.

Bukanlah mukmin yang baik orang yang senang dihormati tapi tidak mau menghormati saudaranya dan tidak senang bila saudaranya dihormati. Bila pengertiannya dibalik. Bukanlah mukmin yang baik orang yang tidak suka dihina, tapi suka menghina saudaranya dan suka bila saudaranya dihina.

Demikianlah kita bisa memperpanjang misal bagi ajaran hadis yang mulia itu dengan melihat cermin. Saudara kita adalah cermin kita.

Memaafkan dengan Hati

Disebutkan bahwa pada bulan suci Ramadhan anugerah Allah dibagi menjadi tiga bagian; sepuluh hari pertama berupa rahmah, sepuluh hari kedua maghfirah, dan hari-hari selebihnya I’qun minnaar.

Mukmin yang berutung, setelah mengisi Ramadhan dengan berbagai amalan yang dianjurkan, akan mendapat ketiga-tiganya : rahmat Allah, pengampunan-Nya, dan bebas dari api mereka. Mudah-mudahan kita semua termasuk yang beruntung itu, minal faaizin ! Amin.

Apalagikah yang mendapat kita jadikan tumpuan harapan kalu bukan mudah-mudahan atau semoga ? Nabi Muhammad SAW saja tidak berani mengandalkan amalan, hanya nyodong rahmat-Nya.

Bagaimana pula kita yang kadang hanya berpuasa menahan makan dan minum ? Lebih jauh hanya berpuasa menahan syawat kelamin maksimal 12 jam. Kita sering menahan mulut dari dusta, berbicara buruk dan membicarakan keburukan orang lain; mengabaikan puasa menahan mata dari memandang hal-hal yang haram; mengabaikan puasa menahan tangan dari berbuat jail; dan mengabaikan kaki dari melangkah kewilayah-wilayah yang menjerumuskan kemaksiat.

Lebih sering lagi mengabaikan puasa menahan diri dari amarah, hasut, dengki, takabur, mengangap diri paling baik, paling hebat.

Memang ada dawuh yang mengatakan bahwa puasa adalah antara kita dan Allah. Namun yang acap kali kita lupakan ialah bahwa “antara kita dan Allah” itu hanyalah berkaitan dengan “kita’ yang berpuasa dan “Allah” yang mengajarnya.

Puasa itu sendiri tidak semata-mata amalan individual. Puasa tersebut menjadi ringan justru karena kita melakukan bersama-sama. Demikian pula, salat tarawih dan salat witir. (Berapa diantara kita yang biasa melakukan salat witir sendirian ?)

Ketika kita berbuka hingga kekenyangan dan tenaga kita tak menemukan sesuatau untuk berbuka, kita tahu betapa beratnya ancaman. Kelaparan dan kehausan kita di siang dari semestinya mendarkan kita bertapa beratnya saudara kita yang lapar dan haus siang dan malam.

Kedermawanan kita pun diharapkan dapat menaklukan yang melekat pada diri kita. Karena itu, -wallahu a’lam- kegiatan memberikan santunan zakat mengikuti dan mengiring kegiatan puasa.

Puasa sebagai latihan menahan diri bukan saja berkaitan dengan pengekangan nafsu dan syahwat dari dan untuk kita sendiri. Apalagi kita sudah menahan syahwat dan nafsu pribadi untuk tidak makan dan minum dan bersetubuh, tapi kita tidak bisa menahan diri dari marah, dengki dan menyakiti hati orang lain, kita khawatir termasuk mereka yang menurut khadis tersebut- disebut puasa hanya mendapatkan lapar dan haus belaka. Na’uzu billah.

Ya kepada, Allah kita berharap banyak, “Ana ‘inda zhannai’ abdi bii” firman Allah dalam sebuah hadis Qudsi, “Aku mengikuti keyakinan hamba-hamba-Ku”. Bila seorang hamba yakin akan menerima amalnya. Bila ia yakin Allah akan mengampuni dosanya, Allah pun akan mengampuninya. Demikian sebaliknya. Disamping itu, Allah maha baik. Tidak hanya suka memberi, tapi juga suka dimintai hamba-hamba-Nya. Ia Maha pengampun yang suka mengampuni hamba-Nya. Ia berbuat baik dan memberi ampun tanpa pamrih apa pun.

Berbeda dengan manusia yang betapa pun baiknya tidak sebaik itu. Bahkan mungkin lebih banyak yang mengembalikannya. Kebaikannya pun sering berpamrih’ oleh karena itu saya sering mengatakan, bergaul dengan Allah jauh lebih baik jika bergaul dengan manusia. Allah gampangan sedangkan manusia umumnya sulit dan menyulitkan.

Kurang-kurang sedikit pekerjaan yang kita lakukan atas perintah-Nya, asal kita benar-benar berusaha mengepa-ngepaskan kerja kita sesuai perintah-Nya, insyaAllah, Allah akan memaklumi dan memaafkan kekurangannya. “Saddiduu wa Qaaribu !” sabda Rasulullah SAW; Pas-paskanlah, kalu tidak pas betul, minimal mendekati.

Bandingkan dengan umumnya majikan manusia. Jangankan kurang sedikit kadang-kadang sudah pas pun masih menampakan kekurangpuasannya. Anehnya, sikap kita sering terbalik. Terhadap Allah yang mengampangkan begitu kita malah sok pethenthengan. Kepada hamba yang sembahyang kurang pas sedikit saja menghadap kiblat, kita marah-marah. Ada orang buka warung memang pekerjaanya warungan di siang bulan Ramadhan saja kita marah. Seolah-olah kita khawatir tergoda makan jika ada warung buka. Berlebaran tidak sesuai hisab atau rukyat saja geger. Seolah-olah Ied adalah hak kita, bukan hak Allah.

Sementara terhadap manusia yang tidak gampang, menganggap gampang. Enak saja kita berbuat sesuatu tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain. Bahkan sudah tahu kita tidak suka dibohongi, dengan gampang kita membohongi orang lain. Kita tidak suka dilukai dengan gampang kita melukai orang lain. Kita tidak suka hak kita dirampas dengan gampang kita merampas hak orang lain.

Padahal, kesalahan kita kepada sesama ada hisabnya dan tidak otomatis terampuni tanpa kita mendapatkan pemaafan dari yang bersangkutan. Betapapun baiknya sikap kita terhadap Allah kita berlaku semena-mena kita perlu mulai khawatir akan nasib kita kelak di kemudian hari.

Waba’du, beruntunglah kita punya tradisi unik dalam memeriahkan Idul fitri. Di dalamnnya ada acara silaturohmi diantara kita. Marilah kita gunakan kesempatan silaturohmi itu sebaik-baiknya. Kita gunakan saling mengakui kesalahan dan memohon maaf sekaligus berjanji dalam hati, untuk selanjutnya akan lebih berhati-hati dalam pergaulan. Mudah-mudahan dengan demikian kita akan menjadi manusia fitri kembali.
Oleh: A. Mustofa Bisri

Takwa dan Sikap Sederhana

Takwa dan Sikap Sederhana

Oleh: A. Mustofa Bisri

Takwa, seperti galibnya istilah popular yang lain, sudah dianggap maklum; karenanya jarang orang yang merasa perlu membicarakannya lebih jauh. Secara sederhana, takwa dapat diartikan sebagai sikap waspada dan hati-hati. Hati-hati menjaga agar tidak ada perintah Allah yang kita abaikan. Hati-hati menjaga agar tidak ada larangan-Nya yang kita langgar. Hati-hati menjaga agar dalam melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya tidak justru menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang telah Ia gariskan.

Dan tidak kalah penting dari itu semua adalah kehati-hatian menjaga keikhlasan kita. Kita perlu waspada dan hati-hati menjaga agar pelaksanaan perintah Allah maupun penghindaran dari larangan-Nya, semata-mata karena Allah. Melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya adalah demi dan karena Allah; bukan demi nafsu dan keinginan diri kita atau karena dorongan pamrih-pamrih yang lain.

Kita hidup untuk beribadah, dan kita beribadah semata mengharap ridha Allah dan bukan mencari ridha dan kepuasan diri sendiri. Dalam ibadah mahdhah atau yang bersifat ritual, seperti sembahyang, berpuasa, dan sebagainya, ketulusan mencari ridha Allah ini mungkin relatif lebih mudah dibanding dengan ibadah yang bersifat sosial, seperti berbuat baik kepada sesama misalnya. Oleh karenanya, sudah sewajarnyalah apabila kita lebih berhati-hati dan terus mewaspadai ketulusan batin kita dalam hal melakukan ibadah-ibadah yang bersifat sosial itu.

Misalnya dalam melaksanakan ibadah sosial ingin memperbaiki keadaan dan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara di Tanah Air, untuk menciptakan Indonesia baru yang lebih baik, kita perlu pula terus mewaspadai niat batin kita. Kita perlu selalu bertanya kepada diri-diri kita sendiri, untuk apa sebenarnya kita berjuang. Kita berjuang untuk Tanah Air demi mendapatkan ridha Allah, ataukah sekedar untuk memuaskan nafsu dan kepentingan kita atau kelompok kita sendiri?

Getir rasanya dan sekaligus geli kita mendengar banyak orang yang meneriakkan slogan-slogan mulia, seperti akhlakul karimah; ukhuwwah islamiyah; membangun masyarakat yang beradab, dan lain sebagainya, namun dalam pada itu mereka sekaligus bersikap dan berperilaku yang tidak berakhlak, menebarkan permusuhan di antara sesama saudara.

Alangkah tertipunya mereka yang merasa diri dan bahkan mengaku-aku berjuang demi hal-hal yang mulia, seperti demi agama dan demi negara, tapi tindak-tanduknya justru menodai kemulian itu sendiri. Bahkan ada yang-na’udzubillah-meneriakkan asma Allah sambil memperlihatkan keganasannya kepada sesama hamba Allah.

Mereka itu umumnya tertipu oleh semangat mereka sendiri. Setan paling suka dan paling lihai menunggangi semangat orang yang bodoh atau kurang pikir, untuk dibelokkan dari tujuan mulia semula. Mereka yang katanya berjuang ingin menegakkan demokrasi, misalnya, karena terlalu bersemangat, tiba-tiba justru menjadi orang-orang yang sangat tidak demokratis; tidak menghormati perbedaan dan bahkan menganggap musuh setiap pihak yang berbeda. Demikian pula, mereka yang katanya ingin berjuang untuk agama, menegakkan syariat Tuhan, karena terlalu bersemangat, sering kali justru dibelokkan oleh setan dan tanpa sadar melakukan hal-hal yang tak pantas dilakukan oleh orang yang ber-Tuhan dan beragama, seperti sudah dicontohkan di muka.

Lebih konyol lagi, apabila yang tergoda melakukan hal-hal bodoh semacam itu adalah mereka yang sudah terlanjur dijadikan atau dianggap imam dan panutan. Karena, para pengikut biasanya akan bertindak lebih bodoh lagi. Seorang panutan cukup memaki untuk membuat para pengikutnya membenci, seperti halnya guru cukup kencing berdiri untuk membuat murid-muridnya kencing berlari.

Biasanya, kekonyolan terjadi lantaran sikap yang berlebihan. Sikap berlebihan tidak hanya dapat membuat orang sulit berlaku adil dan istiqamah, tapi sering kali dapat menjerumuskan orang kepada tindakan yang bodoh. Berlebihan dalam menyintai atau sebaliknya membenci, acap kali membuat orang bersikap konyol. Bahkan, orang yang berlebihan dalam mencintai diri sendiri, dapat kehilangan penalaran warasnya, sebagaimana terjadi pada mereka yang mengangkat diri sebagai imam, nabi, bahkan titisan malaikat Jibril. Mereka yang berlebihan menyintai imamnya pun pada gilirannya juga kehilangan penalaran sehatnya.

Rasanya kita perlu membiasakan kembali sikap hidup sederhana, sebagaimana diajarkan dan dicontohkan kanjeng Nabi Muhammad SAW. Maka, kita dapat dengan lebih mudah berlaku adil dan istiqamah, dapat memandang sesuatu tanpa kehilangan penalaran seseorang

Senyumlah

"Senyum biayanya lebih kecil dibanding dengan listrik, tapi dijamin lebih banyak cahayanya"

Pada Sebuah Kearifan Lingkungan

Suatu hari, Abu Yazid al-Busthami bersama temannya mencuci pakaian di tengah padang. Saat tiba waktu menjemur, sang teman berkata, “Gantung saja pakaian ini di tembok dengan memutar.” Mendengar usulan temannya, Abu Yazid kontan menjawab tidak setuju, ”Jangan menyelipkan baju di tembok orang.”

Karena tidak disetujui, sang teman memberikan pilihan lain, ”Kalau begitu, jemur saja di pohon.” Abu Yazid kembali mencegah,”Jangan, nanti rantingnya bisa patah.” Mendapat penolakan kedua kalinya, sang teman mulai heran, ”Apakah kita jemur di atas rumput?’ Lagi-lagi, Abu Yazid menunjukkan ketidaksenangannya, ”Jangan, rumput itu makanan binatang.” Sertamerta, Abu Yazid meletakkan pakaian yang masih basah itu di punggungnya. Begitu sisi pakaian kering, ia balik lagi untuk sisi lain hingga kering keseluruhan dan dipakainya kembali.

Kisah di atas, adalah sederma sikap sufi yang begitu eman dan mencintai lingkungan. Bagi sufi, semua yang ada di alam semesta adalah makhluk Allah yang harus dipiara dan dilindungi.

Namun, kenapa kini dunia banyak dilanda bencana? Pemanasan global telah menjadi momok masyarakat dunia. Bencana-bencana alam seperti banjir bandang, longsor, kekeringan dan kebakaran hutan yang telah memusnahkan jutaan tumbuhan dan hewan-hewan yang tak ternilai harganya, serta erosi, polusi udara dan air, hanyalah beberapa contoh kecil. Secara simbolis, semua itu menunjukkan betapa alam telah marah kepada manusia atas perlakuan yang tidak bermoral atasnya.

Pandangan sekuler tentang alam memang telah menghasilkan kemajuan-kemajuan ilmiah dan teknologi yang cukup berarti bagi kemakmuran dan kesejahteraan umat manusia. Di sisi lain, pandangan sekuler-moderen juga telah menciptakan berbagai masalah dalam hubungan manusia dengan alam. Manusia moderen menjadi semakin teralienasi dari alam, setelah mereka menciptakan jurang yang tak terjembatani antara keduanya, yakni manusia sebagai subjek dan alam sebagai objek.

Dengan memandang alam semata-mata sebagai objek, nafsu manusia moderen telah mengeksploitasi alam secara kasar untuk memenuhi tuntutan nafsu mereka yang terus menerus meningkat dan tidak pernah ada puasnya.

Menurut kaum sufi, manusia telah menjadi bagian dari alam. Manusia menempati posisi yang sangat istimewa dalam keseluruhan tatanan alam semesta dan kosmik. Manusia dipandang sebagai tujuan akhir penciptaan dan juga sekaligus sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. Karena alasan tersebut, maka manusia telah diberikan hak untuk mengelola alam.

Tapi, hak tersebut hanya sejauh atau berkat bentuk teomorfiknya dan bukan sebagai hak untuk memberontak melawan langit, sebagaimana pemberontakan yang dilakukan oleh manusia moderen terhadap Tuhan. Manusia adalah saluran berkah Tuhan bagi alam, yakni melalui partisipasinya yang aktif dalam dimensi spritual alam. Manusia adalah mulut di mana jasad alam bernafas dan hidup.

Bagi para sufi, alam tidak akan pernah menjadi semata objek-objek yang mati untuk mengabdi pada manusia. Alam adalah sebuah wujud hidup yang mampu mencinta dan dicinta.

Jika manusia moderen cenderung melihat alam hanya dari aspek fisiologis dan kuantitatifnya serta memandang bahwa alam harus dikontrol dan dikuasai demi semata-mata kepentingan manusia, maka para sufi melihatnya sebagai simbol. Dari simbol-simbol alam itu dapat ditangkap isyarat mengenai realitas-realitas yang lebih tinggi.

Menurut para sufi, alam adalah cermin universal yang memantulkan apa pun yang ada di dunia-dunia atas. Keberadaan alam menjadi sebuah panorama simbol yang luas yang berbicara kepada manusia dan memiliki makna baginya. Dalam konteks inilah, seorang sufi menyebut alam sebagai bayangan, yakni bayangan dari Tuhan Yang Maha Esa.

Abu Bakar Sirajuddin menyatakan bahwa tidak ada satu pun di alam yang lebih dari sekadar bayangan. Bahkan, jika ada sebuah dunia yang tidak memberi bayangan dari atas, dunia di bawahnya akan musnah seketika, karena tiap dunia dalam ciptaan ini tidak lebih dari sebuah jaringan bayang-bayang alias the tissue of the shadows. Seluruh tampilan dalam berbagi bayangan itu, secara keseluruhan tergantung pada arketip-arketip dunia di atasnya.

Menurut para sufi, manusia tidak cukup berhenti pada ajaran teoritis, tapi juga harus bergerak pada peristiwa sejati jiwa. Ini berarti, bahwa seseorang harus menyeberangi seluruh teluk atau jurang yang memisahkan kepastian ilmu-ilmu teoritis dan kepastian dari pengetahuan gnostik yang terhayati dan terealisasi secara personal.

Dari lubuk alam yang dalam, manusia harus berusaha mengatasi alam, dan alam sendiri yang berfungsi sebagai tangga. Keberadaan alam dapat bertindak sebagai penopang dalam proses ini. Dari dorongan untuk mentransenden alam dan juga untuk menyeberangi jurang antara pengetahuan teoretis dan pengetahuan diri yang terealisasi (self realized knowledge), ide tentang pengembaraan spiritual, muncul ke permukaan dalam begitu banyak karya mistik dan filosofis.

Dalam keseluruhan karya para sufi sangat terbaca pemikiran yang mengungkapkan secara simbolis dan indah mengenai pelajaran mereka sendiri ke dunia spiritual. Semua ini, bukan berarti hanya sekadar cerita-cerita fiktif, tapi merupakan refleksi dari perjalanan spiritual mereka kepada realitas sejati, al Haqq. Seperti halnya, dalam karya fiktif-naratif Ibnu Sina (wafat 1037), yaitu Risalah al Thayr.

Akhirnya, bagi para sufi, tempat di mana kita hidup sekarang, hanyalah satu dari dunia lainnya. Ia bertindak sebagai tangga dan hanya melalui tangga itulah manusia bisa melakukan pendakian spiritual, mi'raj untuk bisa menuju puncak wujud, yaitu Tuhan. Al-Quran menyatakan sesungguhnya kita adalah milik Tuhan dan kepada-Nyalah kita akan kembali.

Tips Meredam Marah

Marah dan emosi adalah tabiat manusia. Kita tidak dilarang marah, namun diperintahkan untuk mengendalikannya agar tidak sampai menimbulkan efek negatif. Dalam riwayat Abu Said al-Khudri Rasulullah saw bersabda Sebaik-baik orang adalah yang tidak mudah marah dan cepat meridlai, sedangkan seburuk-buruk orang adalah yang cepat marah dan lambat meridlai (H.R. Ahmad).

DAlam riwayat Abu Hurairah dikatakan Orang yang kuat tidaklah yang kuat dalam bergulat, namun mereka yang bisa mengendalikan dirinya ketika marah (H.R. Malik).


Menahan marah bukan pekerjaan gampang, sangat sulit untuk melakukannya. Ketika ada orang bikin gara-gara yang memancing emosi kita, barangkali darah kita langsung naik ke ubun-ubun, tangan sudah gemetar mau memukul, sumpah serapah sudah berada di ujung lidah tinggal menumpahkan saja, tapi jika saat itu kita mampu menahannya, maka bersyukurlah, karena kita termasuk orang yang kuat.

Cara-cara meredam atau mengendalikan kemarahan:

1. Membaca Ta'awwudz. Rasulullah bersabda Ada kalimat kalau diucapkan niscaya akan hilang kemarahan seseorang, yaitu A'uudzu billah mina-syaithaani-r-rajiim Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk (H.R. Bukhari Muslim).

2. Berwudlu. Rasulullah bersabda Kemarahan itu itu dari syetan, sedangkan syetan tercipta dari api, api hanya bisa padam dengan air, maka kalau kalian marah berwudlulah (H.R. Abud Dawud).

3. Duduk. Dalam sebuah hadist dikatakanKalau kalian marah maka duduklah, kalau tidak hilang juga maka bertiduranlah (H.R. Abu Dawud).

4. Diam. Dalam sebuah hadist dikatakan Ajarilah (orang lain), mudahkanlah, jangan mempersulit masalah, kalau kalian marah maka diamlah (H.R. Ahmad).

5. Bersujud, artinya shalat sunnah mininal dua rakaat. Dalam sebuahhadist dikatakan Ketahuilah, sesungguhnya marah itu bara api dalam hati manusia. Tidaklah engkau melihat merahnya kedua matanya dan tegangnya urat darah di lehernya? Maka barangsiapa yang mendapatkan hal itu, maka hendaklah ia menempelkan pipinya dengan tanah (sujud). (H.R. Tirmidzi)

Sabtu, 01 September 2007

SIFAT 20 ALLAH

SIFAT 20

--------------------------------------------------------------------------------

Bermula Mu’alim hamba [Buya Abdul Karim bin Muhammad Nur – Kerinci Indonesia] menyusun sebuah kitab yang menjadi pegangan seluruh murid beliau yang ditulis menggunakan huruf jawi (Arab Melayu), mudah-mudahan Allah meredhai dan mengizinkan hamba mengutarakannya dalam forum ini tanpa melanggar adab.

Bismillahirrahmanirrahiim…

Adapun Mubadi ilmu tauhid itu sepuluh perkara:
1. Nama ilmu ini yaitu ilmu Tauhid, ilmu Kalam, ilmu Sifat, ilmu Ussuluddin, ilmu ‘Aqidul Iman
2. Tempat ambilannya : yaitu diterbitkan daripada Qur’an dan Hadits
3. Kandungannya yaitu mengandung pengetahuan dari hal membahas ketetapan pegangan kepercayaan kepada Tuhan dan kepada rasul-rasulNya, daripada beberapa simpulan atau ikatan kepercayaan dengan segala dalil-dalil supaya diperoleh I’tikad yang yakin (kepercayaan yang putus/Jazam sekira-kira menaikkan perasaan/Zauk untuk beramal menurut bagaimana kepercayaan itu.
4. Tempat bahasannya atau Maudu’nya kepada empat tempat:
a. Pada Zat Allah Ta’ala dari segi sifat-sifat yang wajib padanya, sifat-sifat yang mustahil padaNya dan sifat-sifat yang harus padaNya.
b. Pada zat rasul-rasul dari segi sifat-sifat yang wajib padanya, sifat-sifat yang mustahil padanya dan sifat-sifat yang harus padanya
c. Pada segala kejadian dari segi jirim dan jisim dan aradh sekira-kira keadaannya itu jadi petunjuknya dan dalil bagi wujud yang menjadikan dia
d. Pada segala pegangan dan kepercayaan dengan kenyataan yang didengar daripada perkhabaran rasul-rasul Allah seperti hal-hal surga dan neraka dan hari kiamat

5. Faedah ilmu ini yaitu dapat mengenal Tuhan dan percaya akan rasul dan mendapat kebahagian hidup didunia dan hidup di akhirat yang kekal.
6. Nisbah ilmu ini dengan lain-lain ilmu, yaitu ilmu ini ialah ilmu yang terbangsa kepada agama islam dan yang paling utama sekali dalam agama islam.
7. Orang yang menghantarkan ilmu ini atau mengeluarkannya yaitu, yang pertama mereka yang menghantarkan titisan ilmu tauhid dengan mendirikan dalilnya untuk menolak perkataan meraka yang menyalahi ialah dari pada ulama-ulama yang mashur yaitu Imam Abu Al hasan Al Asy’ari dan Imam Abu Mansur At Maturidi tetapi mereka pertama yang menerima ilmu tauhid daripada Allah Ta’ala ialah nabi Adam alaihissalam, dan yang akhir sekali Nabi Muhammad SAW.
8. Hukumnya, yaitu fardhu ‘ain bagi tiap-tiap orang yang mukallaf laki-laki atau perempuan mengetahui sifat-sifat yang wajib, yang mustahil dan yang harus pada Allah Ta’ala dengan jalan Ijmal atau ringkasan begitu juga bagi rasul-rasul Allah dan dengan jalan tafsil atau uraian
9. Kelebihannya yaitu semulia-mulia dan setinggi-tinggi ilmu daripada ilmu yang lain-lain, karena menurut haditsnya nabi: Inallahata’ala lam yafrid syai’an afdola minattauhid wasshalati walaukana syai’an afdola mintu laf tarodohu ‘ala malaikatihi minhum raakitu wa minhum sajidu, artinya, Tuhan tidak memfardukan sesuatu yang terlebih afdhol daripada mengEsakan Tuhan. Jika ada sesuatu terlebih afdhol daripadanya niscaya tetaplah telah difardhukan kepada malaikatnya padahal setengah daripada malaikatnya itu ada yang ruku’ selamanya dan setengah ada yang sujud selamanya dan juga ilmu tauhid ini jadi asal bagi segala ilmu yang lain yang wajib diketahui dan lagi karena mulia , yaitu Zat Tuhan dan rasul dan dari itu maka jadilah maudu’nya semulia-mulia ilmu dalam agama islam.
10. Kesudahan ilmu ini yaitu dapat membedakan antara I’tikad dan kepercayaan syah dengan yang batil dan dapat pula membedakan antara yang menjadikan dengan yang dijadikan atau antara yang Qadim dengan yang muhadasNya

Ilmu Tauhid
Adapun pendahuluan masuk pada menjalankan ilmu tauhid itu berhimpun atas tiga perkara:

1. Khawas yang lima yaitu, Pendengar, Penglihat, Pencium, Perasa lidah dan Penjabat
2. Khabar Mutawatir, yaitu khabar yang turun menurun. Adapun khabar mutawatir itu dua bahagi:
a. Khabar Mutawatir yang datang daripada lidah orang banyak
b. Khabar Mutawatir yang datang daripada lidah rasul-rasul

3. Kandungannya yaitu mengandung pengetahuan dari hal membahas ketetapan pegangan kepercayaan kepada Tuhan dan kepada rasul-rasulNya, daripada beberapa simpulan atau ikatan kepercayaan dengan segala dalil-dalil supaya diperoleh I’tikad yang yakin (kepercayaan yang putus/Jazam sekira-kira menaikkan perasaan/Zauk untuk beramal menurut bagaimana kepercayaan itu.
~~~~~~~ oOo ~~~~~~~
Aqal
Adapun ‘Aqal itu dua bahagi :

1. ‘Aqal Nazori, yaitu aqal yang berkehendak kepada fikir dan keterangan.
2. ‘Aqal Doruri, yaitu aqal yang tiada berkehendak kepada fikir dan keterangan.
Adapun Hukum ‘Aqal itu tiga bahagi:
1. Wajib ‘Aqal, yaitu barang yang tiada diterima oleh aqal akan tiadanya maka wajib adanya (Zat, Sifat dan Af’al Allah)
2. Mustahil ‘Aqal, yaitu barang yang tiada diterima oleh aqal akan adanya maka mustahil adanya (Segala kebalikan daripada sifat yang wajib, sekutu)
3. Harus ‘Aqal, yaitu barang yang diterima oleh akal akan adanya atau tiadanya (Alam dan segala isinya yang baharu/diciptakan)
~~~~~~~ oOo ~~~~~~~







Mumkinun (Baharu Alam)

Adapun yang wajib bagi ‘Alam mengandung empat perkara:

1. Jirim, yaitu barang yang beku bersamaan luar dan dalam seperti, batu, kayu, besi dan tembaga
2. Jisim, yaitu barang yang hidup memakai nyawa tiada bersamaan luar dalam seperti manusia dan binatang
3. Jauhar Farad, barang yang tiada boleh dibelah-belah atau dibagi-bagi seperti asap, abu dan kuman yang halus-halus
4. Jauhar Latief, yaitu Jisim yang halus seperti ruh, malaikat, jin, syaiton dan nur

Wajib bagi Jirim, Jisim, Jauhar Farad dan Jauhar Latief bersifat dengan empat sifat:
1. Tempat, maka wajib baginya memakai tempat seperti kiri atau kanan, atas atau bawah, hadapan atau belakang
2. Jihat, maka wajib baginya memakai jihat seperti utara atau selatan, barat atau timur, jauh atau dekat
3. Berhimpun atau bercerai
4. Memakai ‘arad, yaitu gerak atau diam, besar atau kecil, panjang atau pendek dan memakai rasa seperti manis atau masam, masam atau tawar dan memakai warna-warna seperti hitam atau putih, merah atau hijau dan memakai bau-bauan seperti harum atau busuk
~~~~~~~ oOo ~~~~~~~







Hukum Adat Thobi'at

Adapun yang wajib bagi hukum adat Thobi’at yang dilakukan didalam dunia ini sahaja, seperti makan, apabila makan maka wajib kenyang sekedar yang dimakan begitu juga api apabila bersentuh dengan kayu yang kering maka wajib terbakar, dan pada benda yang tajam yang apabila dipotongkan maka wajib putus atau luka.

Dan begitu juga pada air apabila diminum maka wajib hilang dahaga sekedar yang diminum. Adapun yang mustahil pada adat Thobi’at itu tiada sekali-kali seperti makan tiada kenyang, minum tiada hilang dahaga, dipotong dengan benda yang tajam tiada putus atau luka dan dimasukkan didalam api tiada terbakar. Akan tetapi yang mustahil pada adat itu sudah berlaku pada nabi Ibrahim as di dalam api tiada terbakar dan pada nabi Isma’il as dipotong dengan pisau yang tajam diada putus atau luka .

Adapun yang mustahil pada adat itu jika berlaku pada rasul-rasul dinamakan Mu’jizat, jika berlaku pada nabi-nabi dinamakan Irhas, jika pada wali-wali dinamakan Karamah, dan jika pada orang yang ta’at dinamakan Ma’unah dan jika berlaku pada orang kafir atau orang fasik yaitu ada empat macam:

1. dinamakan Istidraj pada Johirnya bagus dan hakikat menyalahi
2. dinamakan Kahanah yaitu pada tukang tenung
3. dinamakan Sa’uzah yaitu pada tukang sulap mata
4. dinamakan Sihir yaitu pada tukang sihir

Al-Quran tetap Al-Quran.

Al-Quran tetap Al-Quran.
Terjemahan adalah cuma terjemahan.

Jangan disamakan Al-Quran dengan terjemahan.

Firman Allah s.w.t pada Surah Yusoff, ayat 2 :



yang diterjemahankan ke dalam Bahasa Melayu kepada:

Sesungguhnya Kami menurunkan kitab itu sebagai Quran yang dibaca dengan bahasa Arab, supaya kamu (menggunakan akal untuk) memahaminya.

Justeru, yang dibaca dalam Bahasa Melayu itu adalah terjemahan erti yang paling dekat dan sesuai untuk umum kepada maksud Al-Quran yang sebenar dan bukan Al-Quran itu sendiri.

Minggu, 01 Juli 2007

Haram Melihat Aurat

Haram Melihat Aurat
oleh Yusuf Qardhawi


Di antara yang harus ditundukkannya pandangan, ialah kepada aurat. Karena Rasulullah s.a.w. telah melarangnya sekalipun antara laki-laki dengan laki-laki atau antara perempuan dengan perempuan baik dengan syahwat ataupun tidak.

Sabda Rasulullah s.a.w.:

"Seseorang laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki lain, dan begitu juga perempuan tidak boleh melihat aurat perempuan lain, dan tidak boleh seorang laki-laki bercampur dengan laki-laki lain dalam satu pakaian, dan begitu juga perempuan dengan perempuan lain bercampur dalam satu pakaian."1 (Riwayat Muslim, Ahmad, Abu Daud dan Tarmizi)

Aurat laki-laki yang tidak boleh dilihat oleh laki-laki lain atau aurat perempuan yang tidak boleh dilihat oleh perempuan lain, yaitu antara pusar dan lutut, sebagaimana yang diterangkan dalam Hadis Nabi. Tetapi sementara ulama, seperti Ibnu Hazm dan sebagian ulama Maliki berpendapat, bahwa paha itu bukan aurat.

Sedang aurat perempuan dalam hubungannya dengan laki-laki lain ialah seluruh badannya kecuali muka dan dua tapak tangan. Adapun yang dalam hubungannya dengan mahramnya seperti ayah dan saudara, maka seperti apa yang akan diterangkan dalam Hadis yang membicarakan masalah menampakkan perhiasan.

Ada yang tidak boleh dilihat, tidak juga boleh disentuh, baik dengan anggota-anggota badan yang lain.

Semua aurat yang haram dilihat seperti yang kami sebutkan di atas, baik dilihat ataupun disentuh, adalah dengan syarat dalam keadaan normal (tidak terpaksa dan tidak memerlukan). Tetapi jika dalam keadaan terpaksa seperti untuk mengobati, maka haram tersebut bisa hilang. Tetapi bolehnya melihat itu dengan syarat tidak akan menimbulkan fitnah dan tidak ada syahwat. Kalau ada fitnah atau syahwat, maka kebolehan tersebut bisa hilang juga justru untuk menutup pintu bahaya.
3.1.4.1 Batas dibolehkannya Melihat Aurat Laki-Laki atau Perempuan

Dan keterangan yang kami sebutkan di atas, jelas bahwa perempuan melihat laki-laki tidak pada auratnya, yaitu di bagian atas pusar dan di bawah lutut, hukumnya mubah, selama tidak diikuti dengan syahwat atau tidak dikawatirkan akan menimbulkan fitnah. Sebab Rasulullah sendiri pernah memberikan izin kepada Aisyah untuk menyaksikan orang-orang Habasyi yang sedang mengadakan permainan di masjid Madinah sampai lama sekali sehingga dia bosan dan pergi.2

Yang seperti ini ialah seorang laki-laki melihat perempuan tidak kepada auratnya, yaitu di bagian muka dan dua tapak tangan, hukumnya mubah selama tidak diikuti dengan syahwat atau tidak dikawatirkan menimbulkan fitnah.

Aisyah meriwayatkan, bahwa saudaranya yaitu Asma' binti Abubakar pernah masuk di rumah Nabi dengan berpakaian jarang sehingga tampak kulitnya. Kemudian beliau berpaling dan mengatakan:

"Hai Asma'! Sesungguhnya seorang perempuan apabila sudah datang waktu haidh, tidak patut diperlihatkan tubuhnya itu, melainkan ini dan ini -- sambil ia menunjuk muka dan dua tapak tangannya." (Riwayat Abu Daud)

Dalam hadis ini ada kelemahan, tetapi diperkuat dengan hadis-hadis lain yang membolehkan melihat muka dan dua tapak tangan ketika diyakinkan tidak akan membawa fitnah.

Ringkasnya, bahwa melihat biasa bukan kepada aurat baik terhadap laki-laki atau perempuan, selama tidak berulang dan menjurus yang pada umumnya untuk kemesraan dan tidak membawa fitnah, hukumnya tetap halal.

Salah satu kelapangan Islam, yaitu: Dia membolehkan melihat yang sifatnya mendadak pada bagian yang seharusnya tidak boleh, seperti tersebut dalam riwayat di bawah ini:

"Dari Jarir bin Abdullah, ia berkata: Saya bertanya kepada Rasulullah s.a. w. tentang melihat dengan mendadak. Maka jawab Nabi: Palingkanlah pandanganmu itu!" (Riwayat Ahmad, Muslim, Abu Daud dan Tarmizi) -- yakni: Jangan kamu ulangi melihat untuk kedua kalinya.

3.1.4.2 Perhiasan Perempuan yang Boleh Tampak dan yang Tidak Boleh

Ini ada hubungannya dengan masalah menundukkan pandangan yang oleh dua ayat di surah an-Nur 30-31, Allah perintahkan kepada laki-laki dan perempuan.

Adapun yang khusus buat orang perempuan dalam ayat kedua (ayat 31) yaitu:

a) Firman Allah:

"Janganlah orang-orang perempuan menampakkan perhiasannya, melainkan apa yang biasa tampak daripadanya."

Yang dimaksud perhiasan perempuan, yaitu apa saja yang dipakai berhias dan untuk mempercantik tubuh, baik berbentuk ciptaan asli seperti wajah, rambut dan potongan tubuh, ataupun buatan seperti pakaian, perhiasan, make-up dan sebagainya.

Dalam ayat di atas Allah memerintahkan kepada orang-orang perempuan supaya menyembunyikan perhiasan tersebut dan melarang untuk dinampak-nampakkan. Allah tidak memberikan pengecualian, melainkan apa yang bisa tampak. Oleh karena itu para ulama kemudian berbeda pendapat tentang arti apa yang biasa tampak itu dan ukurannya. Apakah artinya: apa yang tampak karena terpaksa tanpa disengaja, misalnya terbuka karena ditiup angin; ataukah apa yang biasa tampak dan memang dia itu asalnya tampak?

Kebanyakan ulama salaf berpendapat menurut arti kedua, Misalnya Ibnu Abbas, ia berkata dalam menafsirkan apa yang tampak itu ialah: celak dan cincin.

Yang berpendapat seperti ini ialah sahabat Anas. Sedang bolehnya dilihat celak dan cincin, berarti boleh dilihatnya kedua tempatnya, yaitu muka dan kedua tapak tangan. Demikianlah apa yang ditegaskan oleh Said bin Jubair, 'Atha', Auza'i dan lain-lain.

Sedang Aisyah, Qatadah dan lain-lain menisbatkan dua gelang termasuk perhiasan yang boleh dilihat. Dengan demikian, maka sebagian lengan ada yang dikecualikan. Tetapi tentang batasnya dari pergelangan sampai siku, masih diperselisihkan.

Di samping satu kelonggaran ini, ada juga yang mempersempit, misalnya: Abdullah bin Mas'ud dan Nakha'i. Kedua beliau ini menafsirkan perhiasan yang boleh tampak, yaitu selendang dan pakaian yang biasa tampak, yang tidak mungkin disembunyikan.

Tetapi pendapat yang kami anggap lebih kuat (rajih), yaitu dibatasinya pengertian apa yang tampak itu pada wajah dan dua tapak tangan serta perhiasan yang biasa tampak dengan tidak ada maksud kesombongan dan berlebih-lebihan, seperti celak di mata dan cincin pada tangan. Begitulah seperti apa yang ditegaskan oleh sekelompok sahabat dan tabi'in.3

Ini tidak sama dengan make-up dan cat-cat yang biasa dipakai oleh perempuan-perempuan zaman sekarang untuk mengecat pipi dan bibir serta kuku. Make-up ini semua termasuk berlebih-lebihan yang sangat tidak baik, yang tidak boleh dipakai kecuali di dalam rumah. Sebab perempuan-perempuan sekarang memakai itu semua di luar rumah, adalah untuk menarik perhatian laki-laki. Jadi jelas hukumnya adalah haram.

Sedang penafsiran apa yang tampak dengan pakaian dan selendang yang biasa di luar, tidak dapat diterima. Sebab itu termasuk hal yang lumrah (tabi'i) yang tidak bisa dibayangkan untuk dilarangnya sehingga perlu dikecualikan. Termasuk juga terbukanya perhiasan karena angin dan sebagainya yang boleh dianggap darurat. Sebab dalam keadaan darurat, bukan suatu yang dibuat-buat. Jadi baik dikecualikan ataupun tidak, sama saja. Sedang yang cepat diterima akal apa yang dimaksud istimewa (pengecualian) adalah suatu rukhsah (keringanan) dan justru untuk mengentengkan kepada perempuan dalam menampakkan sesuatu yang mungkin disembunyikan; dan ma'qul sekali (bisa diterima akal) kalau dia itu adalah muka dan dua tapak tangan.

Adanya kelonggaran pada muka dan dua taak tangan, adalah justru menutupi kedua anggota badan tersebut termasuk suatu hal yang cukup memberatkan perempuan, lebih-lebih kalau mereka perlu bepergian atau keluar yang sangat menghajatkan, misalnya dia orang yang tidak mampu. Dia perlu usaha untuk mencari nafkah buat anak anaknya, atau dia harus membantu suaminya. Mengharuskan perempuan supaya memakai cadar dan menutup kedua tangannya adalah termasuk menyakitkan dan menyusahkan perempuan.

Imam Qurthubi berkata: "Kalau menurut ghalibnya muka dan dua tapak tangan itu dinampakkan, baik menurut adat ataupun dalam ibadat, seperti waktu sembahyang dan haji, maka layak kiranya kalau pengecualian itu kembalinya kepada kedua anggota tersebut. Dalil yang kuat untuk pentafsiran ini ialah hadis riwayat Abu Daud dari jalan Aisyah r.a., bahwa Asma' binti Abubakar pernah masuk ke rumah Nabi s.a.w. dengan berpakaian tipis, kemudian Nabi memalingkan mukanya sambil ia berkata: "Hai Asma'! Sesungguhnya perempuan apabila sudah datang waktu haidhnya (sudah baligh) tidak patut dinampakkan badannya, kecuali ini dan ini -- sambil ia menunjuk muka dan dua tapak tangannya."

Sedang firman Allah yang mengatakan: "Katakanlah kepada orang-orang mu'min laki-laki supaya menundukkan pandangan" itu memberikan suatu isyarat, bahwa muka perempuan itu tidak tertutup. Seandainya seluruh tubuh perempuan itu tertutup termasuk mukanya, niscaya tidak ada perintah menundukkan sebagian pandangan, sebab di situ tidak ada yang perlu dilihat sehingga memerlukan menundukkan pandangan.

Namun, kiranya sesempurna mungkin seorang muslimah harus bersungguh-sungguh untuk menyembunyikan perhiasannya, termasuk wajahnya itu sendiri kalau mungkin, demi menjaga meluasnya kerusakan dan banyaknya kefasikan di zaman kita sekarang ini. Lebih-lebih kalau perempuan tersebut mempunyai paras yang cantik yang sangat dikawatirkan akan menimbulkan fitnah.

b) Firman Allah:

"Hendaknya mereka itu melabuhkan kudungnya sampai ke dadanya." (an-Nur: 31)

Pengertian khumur (kudung), yaitu semua alat yang dapat dipakai untuk menutup kepala. Sedang apa yang disebut juyub kata jama' (bentuk plural) dari kata jaibun, yaitu belahan dada yang terbuka, tidak tertutup oleh pakaian/baju.

Setiap perempuan muslimah harus menutup kepalanya dengan kudung dan menutup belahan dadanya itu dengan apapun yang memungkinkan, termasuk juga lehernya, sehingga sedikitpun tempat-tempat yang membawa fitnah ini tidak terbuka yang memungkinkan dilihat oleh orang-orang yang suka beraksi dan iseng.

c) Firman Allah:

"Dan hendaknya mereka itu tidak menampak-nampakkan perhiasannya terhadap suami atau ayahnya." (an-Nur: 31)

Pengarahan ini tertuju kepada perempuan-perempuan mu'minah, dimana mereka dilarang keras membuka atau menampakkan perhiasannya yang seharusnya disembunyikan, misalnya: perhiasan telinga (anting-anting), perhiasan rambut (tusuk); perhiasan leher (kalung), perhiasan dada (belahan dadanya) dan perhiasan kaki (betis dan gelang kaki). Semuanya ini tidak boleh dinampakkan kepada laki-laki lain. Mereka hanya boleh melihat muka dan kedua tapak tangan yang memang ada rukhsah untuk dinampakkan.
Larangan ini dikecualikan untuk 12 orang:

1. Suami. Yakni si suami boleh melihat isterinya apapun ia suka. Ini ditegaskan juga oleh hadis Nabi yang mengatakan:

"Peliharalah auratmu, kecuali terhadap isterimu."

2. Ayah. Termasuk juga datuk, baik dari pihak ayah ataupun ibu.

3. Ayah mertua. Karena mereka ini sudah dianggap sebagai ayah sendiri dalam hubungannya dengan isteri.

4. Anak-anak laki-lakinya. Termasuk juga cucu, baik dari anak laki-laki ataupun dari anak perempuan.

5. Anak-anaknya suami. Karena ada suatu keharusan untuk bergaul dengan mereka itu, ditambah lagi, bahwa si isteri waktu itu sudah menduduki sebagai ibu bagi anak-anak tersebut.4

6. Saudara laki-laki, baik sekandung, sebapa atau seibu.

7. Keponakan. Karena mereka ini selamanya tidak boleh dikawin.

8. Sesama perempuan, baik yang ada kaitannya dengan nasab ataupun orang lain yang seagama. Sebab perempuan kafir tidak boleh melihat perhiasan perempuan muslimah, kecuali perhiasan yang boleh dilihat oleh laki-laki. Demikianlah menurut pendapat yang rajih.

9. Hamba sahaya. Sebab mereka ini oleh Islam dianggap sebagai anggota keluarga. Tetapi sebagian ulama ada yang berpendapat: Khusus buat hamba perempuan (amah), bukan hamba laki-laki.

10. Keponakan dari saudara perempuan. Karena mereka ini haram dikawin untuk selamanya.

11. Bujang/orang-orang yang ikut serumah yang tidak ada rasa bersyahwat. Mereka ini ialah buruh atau orang-orang yang ikut perempuan tersebut yang sudah tidak bersyahwat lagi karena masalah kondisi badan ataupun rasio. Jadi yang terpenting di sini ialah: adanya dua sifat, yaitu mengikut dan tidak bersyahwat.

12. Anak-anak kecil yang tidak mungkin bersyahwat ketika melihat aurat perempuan. Mereka ini ialah anak-anak yang masih belum merasa bersyahwat. Kalau kita perhatikan dari kalimat ini, anak-anak yang sudah bergelora syahwatnya, maka orang perempuan tidak boleh menampakkan perhiasannya kepada mereka, sekalipun anak-anak tersebut masih belum baligh.

Dalam ayat ini tidak disebut-sebut masalah paman, baik dari pihak ayah ('aam) atau dari pihak ibu (khal), karena mereka ini sekedudukan dengan ayah, seperti yang diterangkan dalam hadis Nabi:

"Pamannya seseorang adalah seperti ayahnya sendiri." (Riwayat Muslim)

Kamis, 28 Juni 2007

Islam dimulai dengan keasingan

Abu Salman “Yoestiana” Assundawy

“Islam dimulai dengan keasingan dan akan kembali asing,maka berbahagialah orang-orang yang (dianggap) asing.” (H.R. Muslim, Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Syaikh Abdul Qadir Jailani

Kami memuji Allah sesuai dengan nama-nama dan sifatnya serta
kebesaranNya dan bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah
kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusanNya, yang diutus
oleh Allah sebagai pembawa berita gembira dan ancaman saat kiamat
sudah dekat.

Untuk pertanyaan no. 1 ana jawab “Tidak Tahu” karena kurang mengerti
maksudnya dan keterbatasan ilmu.

Untuk jawaban pertanyaan kedua alhamdulillah ana pernah dapat dari
milist ini juga yg sempat di posting oleh al akh Hasbi Asshidiqqi
seperti di bawah ini

Siapakah Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani ??

Soal:
Pada edisi 06/VI/1423H-2002H, rubric Risalatikum memuat pertanyaan
dari Akh M.Zainul Musthafa, Sorong, Papua Barat mengenai sosok Syeikh
Abdul Qadir Al Jailani. Berikut ikni jawaban yang kami janjikan.

Jawab :

Nama Beliau :
Nama lbeliau adalah Ja’far bin Tsa’lab bin Ja’far bin Ali bin
Muthahhar bin Naufal Al Adfawi. Seoarang ‘ulama bermadzhab Syafi’I
yang tinggal di Baghdad.

Kelahiran dan wafatnya beliau :
Dilahirkan pada pertengahan bulan Sya’ban tahun 685 H. Wafat tahun 748
H di Kairo. Biografi beliau dimuat oleh Al Hafidz di dalam kitab Ad
Durarul Kaminah, biografi nomor 1452.
Imam Ibnu Rajab menyatakan bahwa Syeikh Abdul Qadir Al Jailani lahir
pada tahun 490/471 H di kota Jailan atau disebut juga dengan Kailan.
Sehingga diakhir nama beliau ditambahkan kata Al Jailani atau Al
Kailani atau juga Al Jiliy. (Biaografi beliau dimuat dalam Kitab Adz
Dzail ‘Ala Thabaqil Hanabilah I/301-390, nomor 134, karya Imam Ibnu
Rajab Al Hambali. Buku ini belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia).
Beliau wafat pada hari Sabtu malam, setelah maghrib, pada tanggal 9
Rabi’ul Akhir tahun 561 H di daerah Babul Azaj.

Masa muda beliau :
Beliau meninggalkan tanah kelahiran, dan merantau ke Baghdad pada saat
beliau masih muda. Di Baghdad belajar kepada beberapa orang ulama’
seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein Al Farra’ dan juga Abu
Sa’ad Al Muharrimi. Beliau belajar sehingga mampu menguasai ilmu-ilmu
ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama’. Suatu ketika
Abu Sa’ad Al Mukharrimi membangun sekolah kecil-kecilan di daerah yang
bernama Babul Azaj. Pengelolaan sekolah ini diserahkan sepenuhnya
kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani. Beliau mengelola sekolah ini
dengan sungguh-sungguh. Bermukim disana sambil memberikan nasehat
kepada orang-orang yang ada tersebut. Banyak sudah orang yang
bertaubat demi mendengar nasehat beliau. Banyak orang yang bersimpati
kepada beliau, lalu datang ke sekolah beliau. Sehingga sekolah itu
tidak kuat menampungnya. Maka, diadakan perluasan

Murid-murid beliau :
Murid-murid beliau banyak yang menjadi ulama’ terkenal. Seperti Al
Hafidz Abdul Ghani yang menyusun kitab Umdatul Ahkam Fi Kalami Khairil
Anam. Juga Syeikh Qudamah penyusun kitab figh terkenal Al Mughni.
Perkataan ulama tentang beliau :
Syeikh Ibnu Qudamah rahimahullah ketika ditanya tentang Syeikh Abdul
Qadir, beliau menjawab, ” kami sempat berjumpa dengan beliau di akhir
masa kehidupannya. Beliau menempatkan kami di sekolahnya. Beliau
sangat perhatian terhadap kami. Kadang beliau mengutus putra beliau
yang bernama Yahya untuk menyalakan lampu buat kami. Beliau senantiasa
menjadi imam dalam shalat fardhu.” Syeikh Ibnu Qudamah sempat tinggal
bersama beliau selama satu bulan sembilan hari. Kesempatan ini
digunakan untuk belajar kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani sampai
beliau meninggal dunia. (Siyar A’lamin NubalaXX/442).
Beliau adalah seorang ‘alim. Beraqidah Ahlu Sunnah, mengikuti jalan
Salafush Shalih. Dikenal banyak memiliki karamah-karamah. Tetapi
banyak (pula) orang yang membuat-buat kedustaan atas nama beliau.
Kedustaan itu baik berupa kisah-kisah, perkataan-perkataan,
ajaran-ajaran, “thariqah” yang berbeda dengan jalan Rasulullah, para
sahabatnya, dan lainnya. Diantaranya dapat diketahui dari perkataan
Imam Ibnu Rajab, ” Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah seorang yang
diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh banyak para syeikh, baik
‘ulama dan para ahli zuhud. Beliau banyak memiliki keutamaan dan karamah.
Tetapi ada seorang yang bernama Al Muqri’ Abul Hasan Asy
Syathnufi Al Mishri (Nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Yusuf bin Jarir
Al Lakh-mi Asy Syath-Nufi. Lahir di Kairo tahun 640 H, meninggal tahun
713 H. Dia dituduh berdusta dan tidak bertemu dengan Syeikh Abdul
Qadir Al Jailani) mengumpulkan kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan
Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam tiga jilid kitab. Dia telah
menulis perkara-perkara yang aneh dan besar (kebohongannya ). Cukuplah
seorang itu berdusta, jika dia menceritakan yang dia dengar. Aku telah
melihat sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak tentram untuk
berpegang dengannya, sehingga aku tidak meriwayatkan apa yang ada di
dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang telah mansyhur dan terkenal dari
selain kitab ini. Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari
orang-orang yang tidak dikenal. Juga terdapat perkara-perkara yang
jauh ( dari agama dan akal ), kesesatan-kesesatan, dakwaan-dakwaan dan
perkataan yang batil tidak berbatas. (Seperti kisah Syeikh Abdul Qadir
menghidupkan ayam yang telah mati, dan sebagainya.) semua itu tidak
pantas dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir Al Jailani rahimahullah.
Kemudian aku dapatkan bahwa Al Kamal Ja’far Al Adfwi (Nama lengkapnya
ialah Ja’far bin Tsa’lab bin Ja’far bin Ali bin Muthahhar bin Naufal
Al Adfawi. Seoarang ‘ulama bermadzhab Syafi’i. Dilahirkan pada
pertengahan bulan Sya’ban tahun 685 H. Wafat tahun 748 H di Kairo.
Biografi beliau dimuat oleh Al Hafidz di dalam kitan Ad Durarul
Kaminah, biografi nomor 1452.) telah menyebutkan, bahwa Asy
Syath-nufi sendiri tertuduh berdusta atas kisah-kisah yang
diriwayatkannya dalam kitab ini.”(Dinukil dari kitab At Tashawwuf Fii
Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin
Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa’dah 1415
H / 8 April 1995 M.). Imam Ibnu Rajab juga berkata, ” Syeikh Abdul
Qadir Al Jailani rahimahullah memiliki yang bagus dalam masalah
tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu ma’rifat yang sesuai
dengan sunnah. Beliau memiliki kitab Al Ghunyah Li Thalibi Thariqil
Haq, kitab yang terkenal. Beliau juga mempunyai kitab Futuhul Ghaib.
Murid-muridnya mengumpulkan perkara-perkara yang berkaitan dengan
nasehat dari majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat,
takdir dan lainnya, ia berpegang dengan sunnah. Beliau membantah
dengan keras terhadap orang-orang yang menyelisihi sunnah.”

Syeikh Abdul Qadir Al Jailani menyatakan dalam kitabnya, Al Ghunyah, ”
Dia (Allah ) di arah atas, berada diatas ‘arsyNya, meliputi seluruh
kerajaanNya. IlmuNya meliputi segala sesuatu.” Kemudian beliau
menyebutkan ayat-ayat dan hadist-hadist, lalu berkata ” Sepantasnya
menetapkan sifat istiwa’ ( Allah berada diatas ‘arsyNya ) tanpa takwil
( menyimpangkan kepada makna lain ). Dan hal itu merupakan istiwa’
dzat Allah diatas arsys.” (At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq,
hal. 515). Ali bin Idris pernah bertanya kepada Syeikh Abdul Qadir Al
Jailani, ” Wahai tuanku, apakah Allah memiliki wali (kekasih ) yang
tidak berada di atas aqidah ( Imam ) Ahmad bin Hambal?” Maka beliau
menjawab, ” Tidak pernah ada dan tidak akan ada.”( At Tashawwuf Fii
Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 516).

Perkataan Syeikh Abdul Qadir Al Jailani tersebut juga dinukilkan oleh
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Al Istiqamah I/86. Semua itu
menunjukkan kelurusan aqidahnya dan penghormatan beliau terhadap
manhaj Salaf.

Sam’ani berkata, ” Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah penduduk kota
Jailan. Beliau seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar
madzhab ini pada masa hidup beliau.”
Imam Adz Dzahabi menyebutkan biografi Syeikh Abdul Qadir Al Jailani
dalam Siyar A’lamin Nubala, dan menukilkan perkataan Syeikh sebagai
berikut,”Lebih dari lima ratus orang masuk Islam lewat tanganku, dan
lebih dari seratus ribu orang telah bertaubat.”
Imam Adz Dzahabi menukilkan perkataan-perkataan dan
perbuatan-perbuatan Syeikh Abdul Qadir yang aneh-aneh sehingga
memberikan kesan seakan-akan beliau mengetahui hal-hal yang ghaib.
Kemudian mengakhiri perkataan, ”
Intinya Syeikh Abdul Qadir memiliki kedudukan yang agung. Tetapi
terdapat kritikan-kritikan terhadap sebagian perkataannya dan Allah
menjanjikan (ampunan atas kesalahan-kesalahan orang beriman ). Namun
sebagian perkataannya merupakan kedustaan atas nama beliau.”( Siyar
XX/451 ).
Imam Adz Dzahabi juga berkata, ” Tidak ada seorangpun para kibar
masyasyeikh yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah
hikayat, selain Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak diantara
riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi
“. Syeikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali berkata dalam kitabnya, Al Haddul
Fashil,hal.136, ” Aku telah mendapatkan aqidah beliau ( Syeikh Abdul
Qadir Al Jailani ) didalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah. (Lihat
kitab Al-Ghunyah I/83-94) Maka aku mengetahui bahwa dia sebagai
seorang Salafi. Beliau menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan
aqidah-aqidah lainnya di atas manhaj Salaf. Beliau juga membantah
kelompok-kelompok Syi’ah, Rafidhah,Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah,
dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf.” (At Tashawwuf Fii Mizanil
Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah
As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa’dah 1415 H / 8 April
1995 M.)
Inilah tentang beliau secara ringkas. Seorang ‘alim Salafi, Sunni,
tetapi banyak orang yang menyanjung dan membuat kedustaan atas nama
beliau. Sedangkan beliau berlepas diri dari semua kebohongan itu.
Wallahu a’lam bishshawwab.
Kesimpulannya beliau adalah seorang ‘ulama besar. Apabila sekarang ini
banyak kaum muslimin menyanjung-nyanjungnya dan mencintainya, maka
suatu kewajaran. Bahkan suatu keharusan. Akan tetapi kalau
meninggi-ninggikan derajat beliau di atas Rasulullah
shollallahu’alaihi wasalam, maka hal ini merupakan kekeliruan yg
fatal. Karena Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasalam adalah rasul yang
paling mulia diantara para nabi dan rasul. Derajatnya tidak akan
terkalahkan disisi Allah oleh manusia manapun.
Adapun sebagian kaum muslimin yang menjadikan Syeikh Abdul Qadir Al
Jailani sebagai wasilah ( perantara ) dalam do’a mereka. Berkeyakinan
bahwa do’a seseorang tidak akan dikabulkan oleh Allah, kecuali dengan
perantaranya. Ini juga merupakan kesesatan. Menjadikan orang yang
meningal sebagai perantara, maka tidak ada syari’atnya dan ini
diharamkan. Apalagi kalau ada orang yang berdo’a kepada beliau. Ini
adalah sebuah kesyirikan besar. Sebab do’a merupakan salah satu bentuk
ibadah yang tidak diberikan kepada selain Allah. Allah melarang
mahluknya berdo’a kepada selain Allah,
Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka
janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya Disamping
(menyembah ) Allah. ( QS. Al-Jin : 18 )

Jadi sudah menjadi keharusan bagi setiap muslim untuk memperlakukan
para ‘ulama dengan sebaik mungkin, namun tetap dalam batas-batas yang
telah ditetapkan syari’ah.
Akhirnya mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan petunjuk kepada
kita sehingga tidak tersesat dalam kehidupan yang penuh dengan fitnah ini.

Wallahul musta’an
Wassalamu’alaikum warahmatullah

Enam Pertanyaan Imam al-Ghazali

Enam Pertanyaan Imam al-Ghazali

Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?. Orang tua, guru, teman, dan kerabatnya. Menurut Imam al-Ghazali , semua jawaban itu benar. Tetapi yang paling benar adalah "kematian"
KAJIAN:

Suatu hari, Imam al-Ghazali berkumpul dengan murid-muridnya. Lalu Imam beliau bertanya bebeapa hal. Pertama, "Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?. "

Murid-muridnya ada yang menjawab orang tua, guru, teman, dan kerabatnya. Imam al-Ghazali menjelaskan semua jawaban itu benar. Tetapi yang paling dekat dengan kita adalah "Mati". Sebab itu sudah janji Allah SWT bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati. (QS. Ali Imran 185)


Lalu Imam al-Ghazali meneruskan pertanyaan yang kedua. "Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?".

Murid-muridnya ada yang menjawab negara Cina, bulan, matahari, dan bintang-bintang. Lalu Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa semua jawaban yang mereka berikan adalah benar. Tapi yang paling benar, ujarnya, adalah "MASA LALU."

Bagaimanapun kita, apapun kendaraan kita, tetap kita tidak bisa kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama.

Lalu Imam al-Ghazali meneruskan dengan pertanyaan yang ketiga. "Apa yang paling besar di dunia ini?".

Murid-muridnya ada yang menjawab gunung, bumi, dan matahari. Semua jawaban itu benar kata Imam Ghozali. Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah "Nafsu" (QS. Al- a'araf: 179). Maka kita harus hati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu membawa kita ke neraka.

Pertanyaan keempat adalah, "Apa yang paling berat di dunia ini?".

Ada yang menjawab baja, besi, dan gajah. Semua jawaban sampean benar, kata Imam Ghozali, tapi yang paling berat adalah "memegang AMANAH" (QS. Al Ahzab 72). Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah SWT meminta mereka untuk menjadi kalifah (pemimpin) di dunia ini. Tetapi manusia dengan sombongnya menyanggupi permintaan Allah SWT, sehingga banyak dari manusia masuk ke neraka karena ia tidak bisa memegang amanahnya.

Pertanyaan yang kelima adalah, "Apa yang paling ringan di dunia ini?".

Ada yang menjawab kapas, angin, debu, dan daun-daunan. Semua itu benar kata Imam al-Ghazali. Namun menurut beliau yang paling ringan di dunia ini adalah 'meninggalkan SHALAT'. Gara-gara pekerjaan kita tinggalkan shalat, gara-gara meeting kita juga tinggalkan shalat.

Lantas pertanyaan keenam adalah, "Apakah yang paling tajam di dunia ini?".

Murid-muridnya menjawab dengan serentak, pedang. Benar kata Imam al-Ghazali. Tapi yang paling tajam adalah "lidah MANUSIA". Karena melalui lidah, manusia dengan gampangnya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri.

Surga dan Amarah

Surga dan Amarah

“Barangsiapa tidak marah, maka ia lemah dari melatih diri. Yang baik adalah, mereka yang marah namun bisa menahan dirinya.” [Imam al-Ghazali, dari kitab Ihya’ Ulumuddin]


“Anjing! Dikira aku ini apaan.” Kalimat-kalimat kotor dan celaan sering kita dengar di sekeliling lingkungan kita. Entah karena spontan atau karena sudah kebiasaan. Tidak cukup sampai di situ, kadangkala, semburan kalimat-kalimat tidak pantas masih dibarengi dengan tindakan lain sebagai ekpresi amarah. “Brak!. Lihat saja nanti!, “ ujarnya sembari membanting pintu.

Contoh di atas adalah ekpresi dari rasa amarah seseorang. Amarah adalah sikap alamiah yang dimiliki manusia. Ekpresi amarah, bentuknya bisa bermacam-macam. Mulai yang ringan hingga yang berat.

Amarah sering terjadi pada tingkatan-tingkatan tertentu. Umumnya, sebagai ekspresi kekecewaan, kebencian atau bentuk dari sikap kaum kuat pada yang lemah. Misalnya; atasan pada bawahan. Tua pada yang muda, suami pada istrinya, kakak terhadap adiknya, begitu seterusnya. Pada level-level seperti, ekpresi amarah relative lebih cepat terjadi.

Meski salah, amarah sering juga dianggap sebagai bentuk dari sikap menjaga wibawa, gengsi atau harga diri. Meski dari ketiga itu adalah sama-sama dari bentuk kesombongan yang hinggap pada diri seseorang. “Sori, jika aku mengalah, itu membuktikan aku lemah. Aku harus melawannya, “ begitu kalimat yang sering meluncur pada hati orang-orang yang diliputi perasaan gengsi. Yang lebih parah, ketika menganggap amarah sebagai bentuk keberanian.

Sering kita lihat di sekeliling kita, bagaimana ketika dua orang yang sedang bertengkar justru semakin ganas dan semakin tidak terkontrol dikala sebagian orang justru sedang menengahi alias memisahkannya. “Jangan pegangi, lepas saja saya,” begitu ucapnya ketika sedang dilerai. Di hadapan banyak orang, ia seolah ingin menunjukkan ‘kekuatannya’ pada pihak lawan. Intinya, antara gensi, sombong dan amarah, bedanya ibarat sehelai rambut.

Karena itu, Islam lebih memuliakan orang-orang yang bisa mengendalikan diri dari rasa amarah di dadanya. Bahkan bagi yang mampu mengendalikan rasa amarah, Allah sendiri yang langsung menjanjikan kemuliaan padanya.

Rasulullah bersabda, “Man kaffa ghadhabahu kaffa Ilaahu’anhu adzaabahu wa mani’tadza ilaa rabbihii qabilallahu wa man hazana lisaanuhu satrallahu’auratahu.” [“Barangsiapa mampu mencegah kemarahannya, maka dicegah oleh Allah daripadanya akan azabNya. Dan barangsiapa yang meminta udzur kepada Tuhannya, maka Allah menerima udzurnya. Dan barangsiapa menjaga lidahnya [menahannya], niscaya Allah akan menutup auratnya]

Ibnu Umar berkata, “Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya neraka jahanam itu mempunyai satu pintu, yang tidak dapat dimasukinya, selain orang yang sembuh kemarahannya dengan perbuatan maksiat kepada Allah ta’ala.” [HR. Ibnu Abi Dunya dari Ibnu Abbas]

Selain itu, Rasulullah pernah bersabda, “Barangsiapa mampu menahan kemarahannya dan ia sanggup melaksanakannya, maka ia dipanggil oleh Allah di hadapan manusia ramai dan ia disuruh memilih, diantara bidadari yang dia kehendaki.” [HR. Ibnu Abi Dunya dari Mu’adz bin Anas]

Begitu pentingnya amalan menahan amarah, sampai-sampai Allah tidak segan-segan memberi ganjaran luar biasa baginya. Menurut Rasulullah, “Laa tahdzab wa lakal jannah.” (Janganlah marah bagimu surga).[HR. Bukhari]

Ramadhan kali ini, adalah saat yang tepat bagi kita untuk melatih dan mengendalikan diri dari kebiasaan marah. Dan akan lebih baik lagi jika latihan ini tetap dilanjutkan pada bulan-bulan berikutnya.

Jumat, 15 Juni 2007

KUNCI KEBAHAGIAAN_IMAM GHOZALI

CINTA KEPADA ALLAH

Kecintaan kepada Allah adalah topik yang paling penting dan merupakan tujuan akhir pembahasan kita sejauh ini. Kita telah berbicara tentang bahaya-bahaya ruhaniah karena mereka menghalangi kecintaan kepada Allah di hati manusia. Telah pula kita bicarakan tentang berbagai sifat baik yang diperlukan untuk itu. Penyempurnaan kemanusiaan terletak di sini, yaitu bahwa kecintaan kepada Allah mesti menaklukkanhati manusia dan menguasainya sepenuhnya. Kalaupun kecintaan kepada Allah tidak menguasainya sepenuhnya, maka hal itu mesti merupakan perasaan yang paling besar di dalam hatinya, mengatasi kecintaan kepada yang lain-lain. Meskipun demikian, mudah dipahami bahwa kecintaan kepada Allah adalah sesuatu yang sulit dicapai, sehingga suatu aliran teologi telah kenyataan sama sekali menyangkal, bahwa manusia bisa mencitai suatu wujud yang bukan merupakan spesiesnya sendiri. Mereka telah mendefinisikan kecintaan kepada Allah sebagai sekedar ketaatan belaka. Orang-orang yang berpendapat demikian sesungguhnya tidak tahu apakah agama itu sebenarnya.

Seluruh muslim sepakat bahwa cinta kepada Allah adalah suatu kewajiban. Allah berfirman berkenaan dengan orang-orang mukmin: "Ia mencintai mereka dan mereka mencitaiNya." Dan Nabi saw. Bersabda, "Sebelum seseorang mencintai Allah dan NabiNya lebih daripada mencintai yang lain, ia tidak memiliki keimanan yang benar." Ketika Malaikat Maut datang untuk mengambil nyawa Nabi Ibrahim, Ibrahim berkata: "Pernahkan engkau melihat seorang sahabat mengambil nyawa sahabatnya?" Allah menjawabnya, "Pernahkan engkau melihat seorang kawan yang tidak suka untuk melihat kawannya?" Maka Ibrahim pun berkata, "Wahai Izrail, ambillah nyawaku!"

Doa berikut ini diajarkan oleh Nabi saw. kepada para sahabatnya; "Ya Allah, berilah aku kecintaan kepadaMu dan kecintaan kepada orang-orang yang mencintaiMu, dan apa saja yang membawaku mendekat kepada cintaMu. Jadikanlah cintaMu lebih berharga bagiku daripada air dingin bagi orang-orang yang kehausan." Hasan Basri seringkali berkata: "Orang yang mengenal Allah akan mencintaiNya; dan orang yang mengenal dunia akan membencinya."

Sekarang kita akan membahas sifat esensial cinta. Cinta bisa didefinisikan sebagai suatu kecenderungan kepada sesuatu yang menyenangkan. Hal ini tampak nyata berkenaan dengan lima indera kita. Masing-masing indera mencintai segala sesuatu yang memberinya kesenangan. Jadi, mata mencintai bentuk-bentuk yang indah, telinga mencintai musk, dan seterusnya. Ini adalah sejenis cinta yang juga dimiliki oleh hewan-hewan. Tetapi ada indera keenam, yakni fakultas persepsi, yang tertanamkan dalam hati dan tidak dimiliki oleh hewan-hewan. Dengannya kita menjadi sadar akan keindahan dan keunggulan ruhani. Jadi, seseorang yang hanya akrab dengan kesenangan-kesenangan inderawi tidak akan bisa memahami apa yang dimaksud oleh Nabi saw. ketika bersabda bhwa ia mencintai shalat lebih daripada wewangian dan wanita, meskipun keduanya itu juga menyenangkan baginya. Tetapi orang yang mata-hatinya terbuka untuk melihat keindahan dan kesempurnaan Allah akan meremehkan semua penglihatan-penglihatan luar, betapa pun indah tampaknya semua itu.

Manusia yang hanya akrab dengan kesenangan-kesenangan inderawi akan berkata bahwa keindahan ada pada warna-warni merah putih, anggota-anggota tubuh yang serasi dan seterusnya, sedang ia buta terhadap keindahan moral yang dimaksudkan oleh orang-orang ketika mereka berbicara tentang orang ini dan orang itu yang memiliki tabiat baik. Tetapi orang-orang yang memiliki persepsi yang lebih dalam merasa sangat mungkin untuk bisa mencintai orang-orang besar yang telah jauh mendahului kita - seperti kata Khalifah Umar dan Abu Bakar - berkenaan dengan sifat-sifat mulia mereka, meskipun jasad-jasad mereka telah sejak dahulu sekali bercampur dengan debu. Kecintaan seperti itu tidak diarahkan kepada bentuk luar melainkan kepada sifat-sifat ruhaniah. Bahkan ketika kita ingin membangkitkan rasa cinta di dalam diri seorang anak kepada orang lain, kita tidak menguraikan keindahan luar bentuk itu atau yang lainnya, melainkan kunggulan-keunggulan ruhaniahnya.

Jika kita terapkan prinsip ini untuk kecintaan kepada Allah, maka akan kita dapati bahwa Ia sendiri sajalah yang pantas dicintai. Dan jika seseorang tidak mencintaiNya, maka hal itu disebabkan karena ia tidak mengenaliNya. Karena alasan inilah, maka kita mencintai Muhammad saw., karena ia adalah Nabi dan kecintaan Allah; dan kecintaan kepada orang-orang berilmu dan bartakwa adalah benar-benar kecintaan kepada Allah. Kita akan melihat hal ini lebih jelas kalau kita membahas sebab-sebab yang bisa membangkitkan kecintaan.

Sebab pertama adalah kecintaan seseorang atas dirinya dan kesempurnaan sifatnya sendiri. Hal ini membawanya langsung kepada kecintaan kepada Allah, karena kemaujudan asasi dan sifat-sifat manusia tidak lain adalah anugerah Allah. Kalau bukan karena kebaikanNya, manusia tidak akan pernah tampil dari balik tirai ketidak-maujudan ke dunia kasat-mata ini. Pemeliharaan dan pencapaian kesempurnaan manusia juga sama sekali tergantung para kemurahan Allah. Sungguh aneh jika seseorang mencari perlindungan dari panas matahari di bawah bayangan sebuah pohon dan tidak bersyukur kepada pohon yang tanpanya tidak akan ada bayangan sama sekali. Sama seperti itu, kalau bukan karena Allah, manusia tidak akan maujud (ada) dan sama sekali tidak pula mempunyai sifat-sifat. Oleh sebab itu ia akan mencintai Allah kalau saja bukan karena kemasabodohan terhadapNya. Orang-orang bodoh tidak bisa mencintaiNya, karna kecintaan kepadaNya memancar langsung dari pengetahuan tentangNya. Dan sejak kapankah seorang bodoh mempunyai pengetahuan?

Sebab kedua dari kecintaan ini adalah kecintaan manusia kepada sesuatu yang berjasa kepadanya, dan sebenarnyalah satu-satunya yang berjasa kepadanya hanyalah Allah; karena, kebaikan apa pun yang diterimanya dari sesama manusia disebabkan oleh dorongan langsung dari Allah. Motif apa pun yang menggerakkan seseorang memberikan kebaikan kepada orang lain, apakah itu keinginan untuk memperoleh pahala atau nama baik, Allah-lah yang mempekerjakan motif itu.

Sebab ketiga adalah kecintaan yang terbangkitkan oleh perenungan tentang sifat-sifat Allah, kekuasaan dan kebijakanNya, yang jika dibandingkan dengan kesemuanya itu kekuasaan dan kebijakan manusia tidak lebih daripada cerminan-cerminan yang paling remeh. Kecintaan ini mirip dengan cinta yang kita rasakan terhadap orang-orang besar di masa lampau, seperti Imam Malik dan Imam Syafi'i, meskipun kita tidak pernah mengharap untuk menerima keuntungan pribadi dari mereka. Dan oleh karenanya, cinta ini merupakan jenis cinta yang lebih tak berpamrih. Allah berfirman kepada Nabi Daud, "AbdiKu yang paling cinta kepadaKu adalah yang tidak mencariku karena takut untuk dihukum atau berharap mendapatkan pahala, tetapi hanya demi membayar hutangnya kepada KetuhananKu." Di dalam Injil tertulis: "Siapakah yang lebih kafir daripada orang yang menyembahKu karena takut neraka atau mengharapkan surga? Jika tidak Kuciptakan semuanya itu, tidak akan pantaskah Aku untuk disembah?"

Sebab KEEMPAT dari kecintaan ini adalah "persamaan" antara manusia dan Allah. Hal inilah yang dimaksudkan dalam sabda Nabi saw.: "Sesungguhnya Allah menciptakan manusia dalam kemiripan dengan diriNya sendiri." Lebih jauh lagi Allah telah berfirman: "Hambaku mendekat kepadaKu sehingga Aku menjadikannya sahabatKu. Aku pun menjadi telinganya, matanya dan lidahnya." Juga Allah berfirman kepada Musa as.: "Aku pernah sakit tapi engkau tidak menjengukku!" Musa menjawab: "Ya Allah, Engkau adalah Rabb langit dan bumi; bagaimana Engkau bisa sakit?" Allah berfirman: "Salah seorang hambaKu sakit; dan dengan menjenguknya berarti engkau telah mengunjungiKu."

Memang ini adalah suatu masalah yang agak berbahaya untuk diperbincangkan, karena hal ini berada di balik pemahaman orang-orang awam. Seseorang yang cerdas sekalipun bisa tersandung dalam membicarakan soal ini dan percaya pada inkarnasi dan kersekutuan dengan Allah. Meskipun demikian, "persamaan" yang maujud di antara manusia dan Allah menghilangkan keberatan para ahli Ilmu Kalam yang telah disebutkan di atas itu, yang berpendapat bahwa manusia tidak bisa mencintai suatu wujud yang bukan dari spesiesnya sendiri. Betapa pun jauh jarak yang memisahkan mereka, manusia bisa mencintai Allah karena "persamaan" yang disyaratkan di dalam sabda Nabi: "Allah menciptakan manusia dalam kemiripan dengan diriNya sendiri."
Menampak Allah

Semua muslim mengaku percaya bahwa menampak Allah adalah puncak kebahagiaan manusia, karena hal ini dinyatakan dalam syariah. Tetapi bagi banyak orang hal ini hanyalah sekedar pengakuan di bibir belaka yang tidak membangkitkan perasaan di dalam hati. Hal ini bersifat alami saja, karena bagaimana bisa seseorang mendambakan sesuatu yang tidak ia ketahui? Kami akan berusaha untuk menunjukkan secara ringkas, kenapa menampak Allah merupakan kebahagiaan terbesar yang bisa diperoleh manusia.

Pertama sekali, semua fakultas manusia memiliki fungsinya sendiri yang ingin dipuasi. Masing-masing punya kebaikannya sendiri, mulai dari nafsu badani yang paling rendah sampai bentuk tertinggi dari pemahaman intelektual. Tetapi suatu upaya mental dalam bentuk rendahnya sekalipun masih memberikan kesenangan yang lebih besar daripada kepuasan nafsu jasmaniah. Jadi, jika seseorang kebetulan terserap dalam suatu permainan catur, ia tidak akan ingat makan meskipun berulang kali dipanggil. Dan makin tinggi pengetahuan kita makin besarlah kegembiraankita akan dia. Misalnya, kita akan lebih merasa senang mengetahui rahasia-rahasia seorang raja daripada rahasia-rahasia seorang wazir. Mengingat bahwa Allah adalah obyek pengetahuan yang paling tinggi, maka pengetahuan tentangNya pasti akan memberikan kesenangan yang lebih besar ketimbang yang lain. Orang yang mengenal Allah, di dunia ini sekalipun, seakan-akan merasa telah berada di surga "yang luasnya seluas langit dan bumi"; surga yang buah-buahnya sedemikian nikmat, sehingga tak ada seorang pun yang bisa mencegahnya untuk memetiknya; dan surga yang tidak menjadi lebih sempit oleh banyaknya orang yang tinggal di dalamnya.

Tetapi nikmatnya pengetahuan masih jauh lebih kecil daripada nikmatnya penglihatan, persis seperti kesenangan kita di dalam melamunkan orang-orang yang kita cintai jauh lebih sedikit daripada kesenangan yang diberikan oleh penglihatan langsung akan mereka. Keterpenjaraan kita di dalam jasad yang terbuat dari lempung dan air ini, dan kesibukankita dengan ihwal inderawi, menciptakan suatu tirai yang menghalangi kita dari menampak Allah, meskipun hal itu tidak mencegah kita dari memperoleh beberapa pengethuan tentangNya. Karena alasan inilah, Allah berfirman kepada Musa di Bukit Sinai: "Engkau tidak akan bisa melihatKu."

Hal yang sebenarnya adalah sebagai berikut. Sebagaimana benih manusia akan menjadi seorang manusia dan biji korma yang ditanam akan menjadi pohon korma, maka pengetahuan tentang Tuhan yang diperoleh di bumi akan menjelma menjadi penampakan Tuhan di akhirat kelak, dan orang yang tak pernah mempelajari pengetahuan itu tak akan pernah mengalami penampakan itu. Penampakan ini tak akan terbagi sama kepada orang-orang yang tahu, melainkan kadar kejelasannya akan beragam sesuai dengan pengetahuan mereka. Tuhan itu satu, tetapi Ia akan terlihat dalam banyak cara yang berbeda, persis sebagaimana suatu obyek tercerminkan dalam berbagai cara oleh berbagai cermin; ada yang mempertunjukkan bayangan yang lurus, ada pula yang baur, ada yang jelas dan yang lainny akabur. Sebuah cermin mungkin telah sedemikian rusak sehingga bisa membuat bentuk yang indah sekalipun tampa buruk, dan seseorang mungkin membawa sebuah hati yang sedemikian gelap dan kotor ke akhirat, sehingga penglihatan yang bagi orang lain merupakan sumber kebahagiaan dan kedamaian, baginya malah menjadi sumber kesedihan. Seseorang yang di hatinya cinta terhadap Tuhan telah mengungguli yang lain akan menghirup lebih banyak kebahagiaan dari penglihatan ini dibanding orang yang di hatinya cinta itu tak sedemikian unggul; persis seperti halnya dua manusia yang sama memiliki pandangan mata yang tajam; ketika menatap sebentuk wajah yang cantik, maka orang yang telah mencintai pemilik wajah itu akan lebih berbahagia dalam menatapnya daripada orang yang tidak mencinta. Agar bisa menikmati kebahagiaan sempurna, pengetahuan saja tanpa disertai cinta belumlah cukup. Dan cinta akan Allah tak bisa memenuhi hati manusia sebelum ia disucikan dari cinta akan dunia yang hanya bisa didapatkan dengan zuhud. Ketika berada di dunia ini, keadaan manusia berkenaan dengan menampak Allah adalah seperti seorang pencinta yang akan melihat wajah kasihya di keremangan fajar, sementara pakaiannya dipenuhi dengan lebah dan kalajengking yang terus menerus menyiksanya. Tetapi jika matahari terbit dan menampakkan wajah sang kekasih dalam segenap keindahannya dan binatang berbisa berhenti menyiksanya, maka kebahagiaan sang pencinta akan menjadi seperti kecintaan hamba Allah yang setelah keluar dari keremangan dan terbebaskan dari bala yang menyiksa di dunia ini, melihatNya tanpa tirai. Abu Sulaiman berkata: "Orang yang sibuk dengan dirinya sekarang, akan sibuk dengan dirinya kelak; dan orang yang tersibukkan dengan Allah sekarang, akan tersibukkan denganNya kelak."

Yahya Ibnu Mu'adz meriwayatkan bahwa ia mengamati Bayazid Bistami dalam shalatnya sepanjang malam. Ketika telah selesai, Bayazid berdiri dan berkata: "O Tuhan! Beberapa hamba telah meminta dan mendapatkan kemampuan untuk membuat mukjizat, berjalan di atas permukaan air, terbang di udara, tapi bukan semua itu yang kuminta; beberapa yang lain telah meminta dan mendapatkan harta benda, tapi bukan itu pula yang kuminta." Kemudian Bayazid berpaling dan ketika melihat Yahya, ia bertanya: "Engkaulah yang di sanan itu Yahya?" Ia jawab: "Ya." Ia bertanya lagi: "Sejak kapan?" "Sudah sejak lama." Kemudian Yahya memintanya agar mengungkapkan beberapa pengalaman ruhaniahnya. "Akan kuungkapkan", jawab Bayazid, "apa-apa yang halal untuk diceritakan kepadamu." Yang Kuasa telah mempertunjukkan kerajaanNya kepadaku, dari yang paling mulia hingga yang terenah. Ia mengangkatku ke atas 'Arsy dan KursiNya dan ketujuh langit. Kemudian Ia berkata: 'Mintalah kepadaKu apa saja yang kau ingini.' Saya jawab: 'Ya Allah! Tak kuingini sesuatu pun selain Engkau.' 'Sesungguhnya,' kataNya, 'engkau adalah hambaKu."

Pada kali lain Bayazid berkata: "Jika Allah akan memberikan padamu keakraban dengan diriNya atau Ibrahim, kekuatan dalam doa Musa dan keruhanian Isa, maka jagalah agar wajahmu terus mengarah kepadaNya saja, karena Ia memiliki khazanah-khazanah yang bahkan melampaui semuanya ini." Suatu hari seorang sahabatnya berkata kepadanya: "Selama tigapuluh tahun aku telah berpuasa di siang hari dan bersembahyang di malam hari, tapi sama sekali tidak kudapati kebahagiaan ruhaniah yang kamu sebut-sebut itu." Bayazid menjawab: "Kalaupun engkau berpuasa dan bersembahyang selama tigaratus tahun, engkau tetap tak akan mendapatinya." "Kenapa?" tanya sang sahabat. "Karena," kata Bayazid, "perasaan mementingkan-diri-sendirimu telah menjadi tirai antara engkau dan Allah." "Jika demikian, katakan padaku cara penyembuhannya." "Cara itu takkan mungkin bisa kaulaksanakan." Meskipun demikian ketika sahabatnya itu memaksanya untuk mengungkapkannya, Bayazid berkata: "Pergilah ke tukang cukur terdekat dan mintalah ia untuk mencukur jenggotmu. Bukalah semua pakaianmu kecuali korset yang melingkari pinggangmu. Ambillah sebuah kantong yang penuh dengan kenari, gantungkan di lehermu, pergilah ke pasar dan berteriaklah: 'Setiap orang yang memukul tengkukku akan mendapatkan buah kenari'. Kemudian dalam keadaan seperti itu pergilah ke tempat para qadhi dan faqih." "Astaga!" kata temannya, "saya benar-benar tak bisa melakukannya. Berilah cara penyembuhan yang lain." "Itu tadi adalah pendahuluan yang harus dipenuhi untuk penyembuhannya," jawab Bayazid. "Tapi, sebagaimana telah saya katakan padamu, engkau tak bisa disembuhkan."

Alasan Bayazid untuk menunjukkan cara penyembuhan seperti itu adalah kenyataan bahwa sahabatnya itu adalah seorang pengejar kedudukan dan kehormatan yang ambisius. Ambisi dan kesombongan adalah penyakit-penyakit yang hanya bisa disembuhkan dengan cara-cara seperti itu. Allah berfirman kepada Isa: "Wahai Isa, jika Kulihat di hati para hambaKu kecintaan yang murni terhadap diriKu yang tidak terkotori dengan nafsu-nafsu mementingkan diri-sendiri berkenaan dengan dunia ini atau dunia yang akan datang, maka Aku akan menjadi penjaga cinta itu." Juga ketika orang-orang meminta Isa a.s. menunjukkan amal yang paling mulia, ia menjawab: "Mencintai Allah dan memasrahkan diri kepada kehendakNya." Wali Rabi'ah pernah ditanya cintakah ia kepada Nabi. "Kecintaan kepada Sang Pencipta," katanya, "telah mencegahku dari mencintai mahluk." Ibrahim bin Adam dalam doanya berkata: "Ya Allah, di mataku surga itu sendiri masih lebih remeh daripada sebuah agas jika dibandingkan dengan kecintaan kepadaMu dan kebahagiaan mengingat Engkau yang telah Kauanugerahkan kepadaku."

Orang yang menduga bahwa mungkin saja untuk menikmati kebahagiaan di akhirat tanpa mencintai Allah, sudah terlalu jauh tersesat, karena inti kehidupan masa yang akan datang adalah untuk sampai kepada Allah sebagaimana sampai pada suatu obyek keinginan yang sudah lama didambakan dan diraih melalui halangan-halangan yang tak terbilang banyaknya. Penikmatan akan Allah adalah kebahagiaan. Tapi jika ia tidak memiliki kesenangan akan Allah sebelumnya, ia tidak akan bergembira di dalamnya kelak; dan jika kebahagiaannya di dalam Allah sebelumnya sangat kecil sekali, maka kelak ia pun akan kecil. Ringkasnya, kebahagiaan kita di masa datang akan sama persis kadarnya dengan kecintaan kita kepada Allah sekarang.

Tetapi na'udzu billah, jika di dalam hati seseorang telah tumbuh suatu kecintaan terhadap sesuatu yang bertentangan dengan Allah, maka keadaan kehidupan akhirat akan saa sekali asing baginya. Dan apa-apa yang akan membuat orang lain bahagia akan membuatnya bersedih.

Hal ini bisa diterangkan dengan anekdot berikut ini. Seorang manusia pemakan bangkai pergi ke sebuah pasar yang menjual wangi-wangian. Ketika membaui aroma yang wangi ia jatuh pingsan. Orang-orang mengerumuninya dan memercikkan air bunga mawar padanya, lalu mendekatkan misyk (minyak wangi) ke hidungnya; tetapi ia malah menjadi semakin parah. Akhirnya seseorang datang; dia sendiri adalah juga pemakan bangkai. Ia mendekatkan sampah ke hidung orang itu, maka orang itu segera sadar, mendesah penuh kepuasan: "Wah, ini baru benar-benar wangi-wangian!" Jadi, di akhirat nanti manusia tak akan lagi mendapati kenikmatan-kenikmatan cabul dunia ini; kebahagiaan ruhaniah dunia itu akan sama sekali baru baginya dan malah akan meningkatkan kebobrokannya. Karena, akhirat adalah suatu dunia ruh dan merupakan pengejawantahan dari keindahan Allah; kebahagiaan adalah bagi manusia yang telah mengejarnya dan tertarik padanya. Semua kezuhudan, ibadah dan pengkajian-pengkajian akan menjadikan rasa tertarik itu sebagai tujuannya dan itu adalah cinta. Inilah arti dari ayat al-Qur'an: "Orang yang telah menyucikan jiwanya akan berbahagia." Dosa-dosa dan syahwat langsung bertentangan dengan pencapaian rasa tertarik ini. Oleh karena itu, al-Qur'an berkata: "Dan orang yang mengotori jiwanya akan merugi." Orang-orang yang dianugerahi wawasan ruhaniah telah benar-benar memahami kebenaran ini sebagai suatu kenyataan pengalaman, bukan sekadar sebuah pepatah tradisional belaka. Pencerapan mereka yang amat jelas terhadap kebenaran ini membawa mereka kepada keyakinan bahwa orang yang membawa kebenaran itu adalah benar-benar seorang Nabi, sebagaimana yakinnya seseorang yang telah mempelajari pengobatan ketika ia mendengarkan omongan seorang dokter. Ini adalah sejenis keyakinan yang tidak membutuhkan dukungan berupa mukjizat-mukjizat, seperti mengubah sebatang kayu menjadi seekor ular yang masih mungkin digoncangkan dengan mukjizat-mukjizat luar biasa sejenisnya yang dilakukan oleh para ahli sihir.
Tanda-tanda Kecintaan kepada Allah

Banyak orang mengaku telah mencintai Allah, tetapi masing-masing mesti memeriksa diri sendiri berkenaan dengan kemurnian cinta yang ia miliki. Ujian pertama adalah: dia mesti tidak membenci pikiran tentang mati, kerena tak ada seorang "teman" pun yang ketakutan ketika akan bertemu dengan "teman"nya. Nabi saw. Berkata: "Siapa yang ingin melihat Allah, Allah pun ingin melihatnya." Memang benar bahwa seorang pencinta Allah yang ikhlas mungkin saja bisa takut akan kematian sebelum ia menyelesaikan persiapannya untuk ke akhirat, tapi jika ia ikhlas ia akan rajin dalam membuat persiapan-persiapan itu.

Ujian keikhlasan yang kedua ialah seseorang mesti rela mengorbankan kehendaknya demi kehendak Allah; mesti berpegang erat-erat kepada apa yang membawanya lebih dekat kepada Allah; dan mesti menjauhkan diri dari tempat-tempat yang menyebabkan ia berada jauh dari Allah.

Kenyataan bahwa seseorang telah berbuat dosa bukanlah bukti bahwa dia tidak mencintai Allah sama sekali, tetapi hal itu hanya membuktikan bahwa ia tidak mencintaiNya dengan sepenuhhati. Wali Fudhail berkata pada seseorang: "Jika seseorang bertanya kepadamu, cintakah engkau kepada Allah, maka diamlah; karena jika engkau berkata: 'Saya tidak mencintaiNya,' maka engkau menjadi seorang kafir; dan jika engkau berkata: 'Ya, saya mencintai Allah,' padahal perbuatan-perbuatanmu bertentangan dengan itu."

Ujian yang ketiga adalah bahwa dzikrullah mesti secara otomatis terus tetap segar di dalam hati manusia. Karena, jika seseorang memang mencintai, maka ia akan terus mengingat-ngingat; dan jika cintanya itu sempurna, maka ia tidak akan pernah melupakan-Nya. Meskipun demikian, memang mungkin terjadi bahwa sementara kecintaan kepada Allah tidak menempati tempat utama di hati seseorang, kecintaan akan kecintaan kepada Allahlah yang berada di tempat itu, karena cinta adalah sesuatu dan kecintaan akan cinta adalah sesuatu yang lain.

Ujian yang keempat adalah bahwa ia akan mencintai al-Qur'an yang merupakan firman Allah - dan Muhammad Nabiyullah. Jika cintanya memang benar-benar kuat, ia akan mencintai semua manusia, karena mereka semua adalah hamba-hamba Allah. Malah cintanya akan melingkupi semua mahluk, karena orang yang mencintai seseorang akan mencintai karya-karya cipta dan tulisan tangannya.

Ujian kelima adalah, ia akan bersikap tamak terhadap 'uzlah untuk tujuan ibadah. Ia akan terus mendambakan datangnya malam agar bisa berhubungan dengan Temannya tanpa halangan. Jika ia lebih menyukai bercakap-cakap di siang hari dan tidur di malam hari daripada 'uzlah seperti itu, maka cintanya itu tidak sempurna. Allah berkata kepada Daud a.s.: "Jangan terlalu dekat dengan manusia, karena ada dua jenis orang yang menghalangi kehadiranKu: orang-orang yang bernafsu untuk mencari imbalan dan kemudian semangatnya mengendor ketika telah mendapatkannya, dan orang-orang yang lebih menyukai pikiran-pikirannya sendiri daripada mengingatKu. Tanda-tanda ketidak-hadiranKu adalah bahwa Aku meninggalkannya sendiri.

Sebenarnyalah, jika kecintaan kepada Allah benar-benar menguasai hati manusia, maka semua cinta kepada yang lain pun akan hilang. Salah seorang dari Bani Israil mempunyai kebiasaan untuk sembahyang di malam hari. Tetapi ketika tahu bahwa seekor burung bisa bernyanyi dengan sangat merdu di atas sebatang pohon, ia pun mulai sembahyang di bawah pohon itu agar dapat menikmati kesenangan mendengarkan burung itu. Allah memerintahkan Daut a.s. untuk pergi dan berkata kepadanya: "Engkau telah mencampurkan kecintaan kepada seekor burung yang merdu dengan kecintaan kepadaKu; maka tingkatanmu di kalangan para wali pun terendahkan." Di pihak lain, beberapa orang telah mencintai Allah dengan kecintaan sedemikian rupa, sehingga ketika mereka sedang berkhidmat dalam ibadah, rumah-rumah mereka telah terbakar dan mereka tidak mengetahuinya.

Ujian keenam adalah bahwa ibadah pun menjadi mudah baginya. Seorang wali berkata: "Selama tigapuluh tahun pertama saya menjalankan ibadah malamku dengan sudah payah, tetapi tiga puluh tahun kemudian hal itu telah menjadi suatu kesenangan bagiku." Jika kecintaan kepada Allah sudah sempurna, maka tak ada kebahagiaan yang bisa menandingi kebahagiaan beribadah.

Ujian ketujuh adalah bahwa pencinta Allah akan mencintai orang-orang yang menaatiNya, dan membenci orang-orang kafir dan orang-orang yang tidak taat, sebagaimana kara al-Qur'an: "Mereka bersikap keras terhadap orang kafir dan berkasih sayang dengan sesamanya." Nabi saw pernah bertanya kepada Allah: "Ya Allah, siapakah pencinta-pencintaMu?" Dan jawabannya pun datang: "Orang-orang yang berpegang erat-erat kepadaKu sebagaimana seorang anak kepada ibunya; yang berlindung di dalam pengingatan kepadaKu sebagaimana seekor burung mencari naungan pada sarangnya; dan akan sangat marah jika melihat perbuatan dosa sebagaimana seekor macan marah yang tidak takut kepada apa pun."

Sabtu, 02 Juni 2007

Maulid Habsyi

Maulid Habsyi

SIMTHUD-DURAR
Bismillâhir-rahmânir-rahîm

Yâ rabbi shalli `alâ Muhammad Mâ lâha fil-ufqi nûru kaukab
Yâ rabbi shalli `alâ Muhammad Al-fâtihil-khâtimil-muqarrab
Yâ rabbi shalli `alâ Muhammad Al-mushthafâl-mujtabâl-muhabbab
Yâ rabbi shalli `alâ Muhammad Mâ lâha badrun wa ghâba ghaihab
Yâ rabbi shalli `alâ Muhammad Mâ rîhu nashrin bin-nashri qad hab
Yâ rabbi shalli `alâ Muhammad Mâ sâratil-`îsu bathna sabsab
Yâ rabbi shalli `alâ Muhammad Wa kulli man lilhabîbi yunsab
Yâ rabbi shalli `alâ Muhammad Wa kulli man linnabî yashhab
Yâ rabbi shalli `alâ Muhammad Waghfir wa sâmih man kâna adznab
Yâ rabbi shalli `alâ Muhammad Wa ballighil-kulla kulla mathlab
Yâ rabbi shalli `alâ Muhammad Wasluk binâ rabbi khaira madzhab
Yâ rabbi shalli `alâ Muhammad Washlih wa sahhil mâ qad tasha`ab
Yâ rabbi shalli `alâ Muhammad A`lal-barâ yâ jâhan wa arhab
Yâ rabbi shalli `alâ Muhammad Ashdaqi `abdin bil-haqqin a`rab
Khairil-warâ manhajan wa ashwabYâ rabbi shalli `alâ Muhammad
Mâ thairu yumnin ghannâ fa athrabYâ rabbi shalli `alâ Muhammad

***

Asyrafi badrin fil-kauni asyraqYâ rabbi shalli `alâ Muhammad
Akrami dâ`in yad`û ilal-haqYâ rabbi shalli `alâ Muhammad
Almushthafâsh-shâdiqil-mushaddaqYâ rabbi shalli `alâ Muhammad
Ahlal-warâ manthiqan wa ashdaqYâ rabbi shalli `alâ Muhammad
Afdhali man bit-tuqâ tahaqqaqYâ rabbi shalli `alâ Muhammad
Man bis-sakhâ wal-wafâYâ rabbi shalli `alâ Muhammad takhallaq
Wajma` minasy-syâmli mâ tafarraqYâ rabbi shalli `alâ Muhammad
Washlih wa sahhil mâ qad ta`awwaqYâ rabbi shalli `alâ Muhammad
Waftah minal-khâiri kulla mughlaqYâ rabbi shalli `alâ Muhammad
Wa âlihi wa man bin-nabî ta`allaqYâ rabbi shalli `alâ Muhammad
Wa âlihi wa man lilhabîb ya`syaqYâ rabbi shalli `alâ Muhammad
Wa man bihablin-nabî tawatstsaqYâ rabbi shalli `alâ Muhammad
Yâ rabbi shalli `alaihi wa sallim.Yâ rabbi shalli `alâ Muhammad

Bismillâhir-rahmânir-rahîm

Alhamdu almabsûthi fil-wujûdi alwâdhihi burhânuh lillâhil-qawiyyi sulthânuh  ta`âlâ majduhu wa `azhuma syânuh karamuhu wa ihsânuh wa basatha lahum wa thawâ `alaihâ `ilmah khalaqal-khalqa lihikmah fa arsalamin fâ’idhil-minnati mâ jarat bihi fî aqdârihil-qismah ta`allaqatilaihim asyrafa khalqihi wa ajalla `abîdihi rahmah fantasyaratirâdatuhul-azaliyyatu bikhalqi hâdzal-`abdil-mahbûb famâ ajallaâtsâru syarafihi fî `awâlimisy-syahâdati wal-ghuyûb wa mâ a`zhamahâdzal-mannal-ladzî takarrama bihil-mannân shûratan kâmilatanhâdzal-fadhlal-ladzî baraza min hadhratil-ihsân  fata`aththarat biwujûdihâ aknâful-wujûd zhaharat fî haikalin mahmûd wa tharrazat burdal-`awâlimi bithirâzit-takrîm.

Allâhumma shalli wa sallim asyrafash-shalâti wat taslîm
`alâ sayyidinâ wa nabiyyinâ Muhammadinir-ra’ufir-rahîm

Tajallal-haqqu tajalliyan qadhâ bintisyâri fadhlihifî `âlami qudsihil-wâsi` falahul-hamdul-ladzî lâ tanhashiru afrâduhufil-qarîbi wasy-syâsi`  shûrata hâdzal-insân  haitsu abraza min `âlimil-imkân bita`dâd wa tantasyira asrâruhu fil-akwânliyatasyarrafa biwujûdihits-tsaqalân illâ min sawâbighi famâ min sirrinit-tashala bihi qalbu munib  fadhlil-lâhi `alâ hâdzal-habîb

Ya laqalbin surûruhu qad tawâlâ
Bihabîbin `ammal-anâma nawâlâ
Jalla man syarrafal-wujûda binûrin
Ghamaral-kauna bahjatan wa jamâlâ
Qad taraqqâ fil-husni a`lâ maqâmin
Wa tanâhâ fî majdihi wa ta`âlâ
Lâhazhathul-`uyûnu fîmajtalathu
Basyaran kâmilan yuzîhudh-dhalâlâ
Wahwa min fauqi `ilmi mâ qad ra’athu
Rif`atan fî syuûnihi wa kamâlâ.

Fasubhânal-ladzî Wa Mâ ya`jazu `an washfihil-lisân abraza min hadhratil-imtinân intasyara minhu fîyahâru fî ta`aqquli ma`ânîhil-janân  mâ mala-al-wujûdal-khalqiyya nûr `âlamil-buthûuni wazh-zhuhûr basysyâratnâ ayâtuhufatabârakal-lâhu min ilâhin karîm  bi bisyârati laqad jâ’akum rasûlum-min anfusikum fidz-dzikril-hakîm `azîzun `alaihi mâ `anittum harîshun `alaikum bil-mu’minîna faman fâ ja’athu hâdzihil-bisyâratu wa talaqqâ hâra’ufur-rahîm  faqad hudiya ilâ shirâtim-mustaqîm. biqalbin salîm

Allâhumma shalli wa sallim asyrafash-shalâti wat taslîm
`alâ sayyidinâ wa nabiyyinâ Muhammadinir-ra’ufir-rahîm

Wa asyhadu an-lâ ilâha illallâhu wahdahu lâ syarîka lahu syahâdatan minat-tashdîqi bihâ `ammâ tadhammânahul-janân tu`ribu bihal-lisân wa tasybutu bihâ fish-shudûri minal-îmâni qawâ`iduh wal-idz`ânn talûhu `alâ ahlil-yaqîni min sirri dzâlikal-idz`ân wat-tashdîqi wa asyhadu anna sayyidanâ Muhammadanil-`abdash-shâdiqa fîsyawâhiduh wal-muballigha `anil-lâhi mâ amarahu bitablîghihiqaulihi wa fi`lih `abdun arsalahul-lâhu lil`âlamînalikhalqihi min fardhihi wa naflih wa wa addal-âmânah  faballaghar-risâlah basyîran wa nadzîra fakâna fîhadal-lâhu bihi minal-ummati basyaran katsîra famâzhulmatil-jahli lilmustabshirîna sirâjan wa qamaran munîra wa mâa`zhamahâ min minnatin takarramal-lâhu bihâ `alal-basyar Allâhummaausa`ahâ min ni`matin intasyara sirruhâ fil-bahri wal-bar shalli wa sallim bi’ajallish-shalawâti wa ajma`ihâ wa azkat-tahiyyâti wa `alâ hâdzal-`abdil-ladzî waffâ bihaqqil-`ubûdiyyah wa ausa`iha wa qâma bihaqqir-rubûbiyyati fîbaraza fîhâ fî khil`atil-kamal shalâtanmawâthinil-khidmatil-lâhi wa aqbala `alaihi ghâyatal-iqbâl fayanbasithu fî qalbihiyattashilu bihâ rûhul-mushallî `alaihi bih wa yuktabu bihânûru sirri ta`alluqihi bihi wa hubbih wa `alâ âlihi wa shahbihil-ladzînartaqaubi`inâyatil-lâhi fî hizbih wa tafayya’û zhilâlasy-syarafil-ashliyyishahwatal-majdi biqurbih  mâ `aththral-akwâna binasyri dzikrâhum nasîm. biwuddihi wa hubbih

Allâhumma shalli wa sallim asyrafash-shalâti wat taslîm
`alâ sayyidinâ wa nabiyyinâ Muhammadinir-ra’ufir-rahîm

(Ammâ bizhuhûriba`d) Falammâ ta`allaqat irâdatul-lâhi fil-`ilmil-qadîm  bit-taqdîmi wat-takrîm asrârit-takhshîshi lilbasyaril-karîm bin-ni`matil-wâsi`atinafadzatil-qudratul-bâhirah  fanfalaqat baidhatut-tashwîr wal-minnatil-ghâmirah hâwin `an jamâlin masyhûdin bil-`ain fil-`âlamil-muthlaqil-kabîr fatanaqqalaliwashfil-kamâlil-muthlaqi wal-husnit-tâmmi waz-zain famâ min fil-ashlâbil-karîmati wal-buthûn dzalikal-jamâlul-maimûn  illâ wa tammat `alaihi minal-lâhin-ni`mah shulbin dhammah liyatasyarrafafahuwal-qamarut-tâmmul-ladzî yatanaqqalu fî burûjih wa qadbihi mauthinus-tiqrârihi wa maudhi`u khurûjih qadhatil-aqdârul-azaliyyatu bimâ qadhat wa azhharat min sirri  wa khashshashat bihi man khashshashat hâdzan-nûri mâ azhharat fakâna mustaqarruhu fil-ashlâbil-fâkhirah hattâ baraza fî `âlamisy-syahâdatiwal-arhâmisy-syarîfatith-thâhirah  wa nûran hayyaral-afkâra zhuhûruhu wa bahar basyaran lâ kalbasyar bi’an yarquma fîfata`allaqat himmatur-râqimi lihâdzihil-hurûf wahâdzal-qirthâsi mâ huwa ladaihi min `ajâ’ibi dzâlikan-nûri ma`rûf in kânatil-alsunu lâ tafî bi`usyri mi`syâri aushâfi dzalikal-maushûf wa tarwîhan min khawashshil-mu’minîn tasywîqan lissâ mi`în wa illa fa-anna tu`ribul-aqlamlilmuta`alliqîna bihâdzan-nûril-mubîn wa lâkin hazzanî ilâ tadwîni mâ hafizhtuhu `an syuûni khairil-anâm  wa mâ akramahul-lâhu bihi fî maulidihimin siyari asyrafil-makhlûqîn wa baqiyat râyatuhu fil-kauniminal-fadhlil-ladzî `ammal-`âlamîn da`î ta`alluqimansyûratan `alâ marril-ayyâmi wasy-syuhûri was-sinîn wa lâ`ijut-tasyawwuqi ilâ samâ`ibihâdzihil-hadhratil-karîmah wa la`allal-lâha yanfa`u bihil-mutakallimaaushâfihal-`azhîmah wa fayadkhulâni fî syafâ`ati hâdzan-nabiyyisy-syâfi` was-sâmi` yatarawwahâni birauhi dzâlikan-na`îm

Allâhumma shalli wa sallim asyrafash-shalâti wat taslîm
`alâ sayyidinâ wa nabiyyinâ Muhammadinir-ra’ufir-rahîm

Wa qad âna lilqalami an yakhuththa mâ harrakathu fîhil-anâmil mimmas-tafâdahul-fahmu min shifâti hâd wazal-`abdil-mahbûbil-kâmil wa hunâ hasuna an nutsbitasyamâ’ilihil-latî hiya ahsanusy-syamâ’il mâ balagha ilainâ fî sya’ni hâdzal-habîbi min akhbârin wa âtsar liyatasyarrafa bikitâbatihil-qalamu wal-qirthâsu wa tatanazzaha fî wa qad balaghanâhadâ’iqihil-asmâ`u wal-abshâr anna awwala syai’in khalaqahul-lâhufil-ahâdîtsil-masyhûrah fanûru hâdzâl-habîbi awwaluhuwan-nûrul-mûda`u fî hâdzihish-shûrah wa minhu tafarra`al-wujûdu khalqan ba`damakhlûqin baraza fil-`âlam wa qad akhraja `abdur-razzâqikhalqin fîmâ hadatsa wa mâ taqâdam bisanadihi `an jâbiribni `abdillâhil-anshâriyyi radhiyallâhu `anhumâ qalâ “qultu yâ Rasûlallâhi bi’abî wa ummî akhbirnî `an awwali syai’in qâla yâ jâbiru innal-lâha khalaqakhalaqahul-lâhu qablal-asyyâ’” qablal-asyyâ’i nûra nabiyyika Muhammadin shallallâhu `alaihi wa sallama wa qad warada min hadîtsi abî hurairata radhiyallâhu `anhumin nûrih qâla rasûlul-lâhi shallallâhu `alaihi wa sallama kuntuannahu qâla wa qadawwalan-nabiyyîna fil-khalqi wa âkhirahum fil-ba`ts ta`addadatir-riwâyâtu bi’annahu awwalul-khalqi wujûdan wa asyrafuhum lahâ mulâhazhatun wa lamma kânatis-sa`âdatul-abadiyyah maulûda khafiyyah ikhtashshat man syâ’at minal-bariyyah ashlâba wa fastauda`at hâdzan-nûral-mubîn bikamalil-khushûshiyyah fatanaqqala hâdzan-nûru minbuthûna man syarrafathu minal-`âlamîn hattâ aushalathu yadul-`ilmil-qadîmshulbi âdama wa nûhin wa ibrâhîm `abdillâhib-ni ilâ man khashshashathu bit-takrîmi abîhil-karîm  wa ummihil-latî hiyâ`abdil-muththalibi dzil-qadril-`azhîm fatalaqqâhu as-sayyidatil-karîmati âmînah fil-makhâwifi âminah fadhammathu ahsyâ’uhâshulbu `abdillâhi fa’alqâhu ilâ bathniha bima`ûnatil-lâhi muhâfazhatan `alâ haqqi hâdzihid-durrati wa shauniha fahamalathu biri`âyatil-lâhi kamâ warada `anhâ hamlan khafîfan lâ hattâ wa lâ tasykû minhu alaman wa lâ `ilala tajidu lahu tsiqalan wa qaruba waqtu burûzihi ilâmarrasy-syahru ba`dasy-syahri min hamlih `âlamisy-syahâdati litanbasitha `alâ ahli hâdzal-`âlami fuyûdhâtu  wa tantasyira fîhi âtsâru majdihish-shamîm fadhlih

Allâhumma shalli wa sallim asyrafash-shalâti wat taslîm
`alâ sayyidinâ wa nabiyyinâ Muhammadinir-ra’ufir-rahîm

Wa mundzu `aliqat bihi hâdzihid-durratul-maknûnah wal-kaunu kulluhu yushbihu wa yumsî fîwal-jauharatul-mashûnah wal-`uyûnu biqurbi zhuhûri isyrâqi hâdzas-sirâj surûrin wabtihâj mutasyawwiqatun ilal-tiqâthi jawâhirimutasyawwifatun ilâ burûzih  wa kullu dâbbatin li quraisyin nathaqat bifashîhil’`ibârah kunûzih wa mâ min hâmilin hamalat fîmu`linatan bikamâlil-bisyârah min barakâti wa sa`âdati illâ atat fî hamlihâ bighulâm dzâlikal-`âm mutadhammikhatan wa lam tazalil-ardhu was-samâwât hâdzal-imâm wa burûzihi minbi`ithril-farahi bimulâqâti asyrafil-bariyyât ba`da tanaqqulihi fil-buthûni`âlamil-khafâ’i ilâ `âlamizh-zhuhûr wa basatha fa’azharal-lâhu fil-wujûdi bahjatat-takrîm wazh-zhuhûr biburûzifil-`âlamil-kabîri mâ’idatat-tasyrîfi wat-ta`zhîm hâdzâl-basyaril-karîm.

Allâhumma shalli wa sallim asyrafash-shalâti wat taslîm
`alâ sayyidinâ wa nabiyyinâ Muhammadinir-ra’ufir-rahîm

Fahîna a`lanatis-samâwâtu wal-aradhûna waqaruba awânu wadh`i hâdzal-habîb wa amthârul-jûdil-ilâhiyyi `alâ ahlil-wujûdiman fîhinna bit-tarhîb  wa alsinatul-malâ’ikati bit-tabsyîri lil`âlamîna ta`ij tatsij liyabruza nûruhu kâmilan fîwal-qudratu kasyafat qinâ`a hâdzal-mastûr  wa anfadzal-haqqu hukmah  nûran fâqa kulla nûr `âlamizh-zhuhûr an min khawâshshil-ummah `alâ man atammal-lâhu `alaihin-ni’mah wa ta’nîsan lijanâbihal-mas`ûd yahdhura `inda wadh`ihi ummah fahadharatmusyârakatan lahâ fî hâdzas-simâthil-mamdûd wa ma`ahumâbitaufîqil-lâhis-sayyidatu maryamu was-sayyidatu âsiyah minal-hûril-`îni man qasamallahu lahu minasy-syarafi fa’atal-waqtul-ladzî rattabal-lâhu `alâbil-qismatil-wâfiyah fan-falaqa shubhul-kamâli minan-nûrihudhûrihi wujûda hâdzal-maulûd mudz`inan lillâhi bit-ta`zhîmi wa barazal-hâmidul-mahmûd `an `amûd was-sujûd.

Mahallul Qiyam (Saat Berdiri)

Asyraqal-kaunubtihâjan  biwujûdil-mushthfahmad
Wa li’ahlil-kauni unsun  wa surûrun qad tajaddad
Fathrabû yâhlal-matsânî  fahazârul-yumni gharrad
Wastadhî’û bijamâlin  fâqa fil-husni tafarrad
Wa lanal-busyrâ bisa`din  mustamirrin laisa yanfad
Haitsu ûtînâ `athâ’an  jama`al-fakhral-mu’abbad
Falirabbî kullu hamdin  jalla an yahshurahul-`ad
Idz habânâ biwujûdil-mushthafal-hâdî Muhammad
Yâ Rasûlallâhi ahlan  bika innâ bika nas`ad
Wa bijâhih yâ ilâhî  jud wa balligh kulla maqsad
Wahdinâ nahja sabîlih  kay bihi nas`ad wa nursyad
Rabbi ballighnâ bijâhih  fî jiwârihi khair maq`ad
Wa shalâtullâhi taghsyâ  asyrafar-rusli Muhammad
Wa salâmun mustamirrun  kulla hînin yatajaddad

Wa hîna baraza shallallâhu `alaihi wa sallama min bathni ummihi baraza mu’miyan bidzâlikar-raf`i ilâ anna lahurâfi`an tharfahu ilas-samâ’ wa kâna waqtu maulidi sayyidil-kaunainsyarafan `alâ majduhu wa samâ  minasy-syuhûri syahra rabî`il-awwali wa minal-ayyâmi yaumal-itsnain  wa qad warada annahuwa maudhi`u wilâdatihi wa qabrihi bil-haramain shallallâhu `alaihi wa sallama wulida makhtûnan makhûlan tawallat dzâlika lisyarafihi `indallâhi aidil-qudrahmaqthû`as-surrah mâ wa ma`as burûzihi ilâ hadzal-`âlami zhahara minal-`ajâ’ib  faqadyadullu `alâ annahu asyraful-makhlûqîna wa afdhalul-habâ’ib warada `an `abdir-rahmânib-ni `aufin `an ummihisy-syaffâ’i radhiyallâhu qâlat lammâ waladat âminatu radhiyallâhu `anha rasûlallâhi`anhumâ sallallâhu `alaihi wa sallama waqa`a `alâ yadayya fastahalla fasami`tu qalatisy-syaffâ’uqa’ilan yaqûlu rahimakal-lâhu au rahimaka rabbuka hattâ nazhartu ilâfa’adhâ’a lahu mâ bainal-masyriqi wal-magharib qâlat tsumma albastuhu wa adhja`tuhu falam ansyabba`dhi qushûrir-rûm an ghasyiyatnî zhulmatun wa ru`bun wa qusya`rîratun `an yamînî wafasami`tu qâ’ilan yaqûlu aina dzahabta bihi qâla ilal-maghrib tsumma `âwadadir-ru`bu wazh-zhulmatuasfara dzâlika `annî fasami`tu qâ’ilan yaqûlu aina dzhahabtawal-qusya`rîratu `an yasârî qâlat falam yazalil-hadîtsu minnî `alâ bâlinbihi qâla ilal-masyriq wa kam Fakuntu min awalin-nâsi islâmâ hattâb-ta`atsullâh  wa bâhiril-âyâtil-bayyinât tarjamatis-sunnatu min `azhîmil-mu`jizât wa anna `aina `inâyatihibimâ yaqdhî bi`azhîmi syarafihi `inda maulâh  wa annahul-hâdî ilash-shirâthil-mustaqîm fî kulli hînin tar`âh

Allâhumma shalli wa sallim asyrafash-shalâti wat taslîm
`alâ sayyidinâ wa nabiyyinâ Muhammadinir-ra’ufir-rahîm

Tsumma innahu shallallâhu `alaihi wa sallama ba`da an hakamatil-qudratu tasâbaqât ilâ wantasyarat fil-akwâni lawâmi`u nûrih bizhuhûrih wa tawaffarat raghabâtu ahlil-wujûdi fîradhâ`ihil-murdhi`ât  fanafadzal-hukmu minal-hadhratil-`azhîmah hadhânati hâdzihidz-dzât bi’annal-aulâ bitarbiyatibiwâsithatis-sawâbiqil-qadîmah wa hîna lâhazhathuhâdzal-habîbi wa hadhânatihis-sayyidatu halîmah wa baraza fî sya’niha min asrâril-qudratir-rabbâniyyati`uyûnuha mâ dalla `alâ anna nâzala qalbahâ minal-farahi was-surûr maknûnuha fahanat `alaihihazhzhaha minal-karâmati `indal-lâhi hazhzhun maufûr wa raghibat fî radhâ`ihi thama`an fîhunuwwal-ummahâti `alal-banîn fathalabat minnaili barakâtihil-latî syamilatil-`âlamîn an tatawallâ radhâ`ahu wa hadhânatahu wa tarbiyatahuummihil-karîmah limâ ra’at fa’ajâbathâ bit-talbiyati lidâ`îha bil-`ainir-rahîmah fatarahhalat bihimin shidqihâ fî husnit-tarbiyati wa wufûri dawâ`îha wa hiya biri`âyatil-lâhi mahfûfatun wailâ manâzilihâ masrûrah fasyâhadat fî tharîqihâ minbi`aini `inâyatihi manzhûrah faqad mâ dallahâ `alâ annahu asyraful-makhlûqât gharîbil-mu`jizât wa raja`at wa humâatat wa syârifuhâ wa atânuhâ dha`îfatân wa qad darratisy-syârifu wasy-syiyâhulidawâbbil-qâfilati yasbiqân wa baqiya `indahâ fî bimâ hayyaral-`uqûla wal-adzhan minal-albân tatalaqqâ min barakâtihi wa `ajâ’ibihadhânatihâ wa zaujihâ sanatain mu`jizâtihi mâ taqarru wa tantasyiru asrâruhu fil-kaunaînbihil-`aîn  hattâ wâjahathu malâ’ikatut-takhshîshi wal-ikrâm   wa huwa yar`âl-aghnâm bisy-syarafil-ladzî `ammat barakatuhul-ânâm wa syaqqû bathnahu syaqqanfadh-ja`ûhu `alal-ardhi idhjâ`a tasyrîf tsumma akhrajû min qalbihi mâ akhrajûhu wa auda`û fîhi minlathîf wa mâ akhrajal-amlâku minasrâril-`ilmi wal-hikmati mâ auda`ûhu qalbihi adzan.
Wa lâkinnahum zâdûhu thuhran `alâ thuhrin wa huwa yatashaffahu minma`a dzâlika fî quwwatin wa tsabât fabalagha ilâsuthûril-qudratil-ilâhiyyati bâhiral-ayât mâ hashala `alâ dzâtihisy-syarîfahmurdhi`atihish-shâlihatil-`afîfah wa lam tadri annahu fatakhawwafat `alaihi min hâditsin takhsyâh  faraddathu ilâ ummihimulâhazhun bil-mulâhazhatit-tammati min maulâh wa lâkin limâ qâma ma`ahâ minwa hiya ghairu sakhiyyatin bifirâqih wa huwa bihamdil-lâhi fî hishnin mâhuznil-qalbi `alaihi wa isyfâqih ni`in wa maqâmin karîm

Allâhumma shalli wa sallim asyrafash-shalâti wat taslîm
`alâ sayyidinâ wa nabiyyinâ Muhammadinir-ra’ufir-rahîm

Fanasya’a yahuffuhushallal-lâhu `alaihi wa sallama `alâ akmalil-aushâf fakâna yasyibbuminal-lâhi jamîlur-ri`âyati wa ghâmirul-althâf wa yazhharu `alaihi fîfil-yaumi syabâbash-shabiyyi fisy-syahr shibâhu min syarafil-kamâli mâ yasyhadu lahu bi annahu sayyidu waladi  wa lam yazal wa anjumu su`ûdihi thâli`ah âdama wa lâ fakhr famâ nafatsawal-kâ’inâtu li`ahdihi hâfizhatun wa li’amrihi thâ’i`ah wa lâ tawajjaha fî ghaitsin illâ wa`alâ marîdhin illâ syafâhul-lâh wa madhat lahu hattâ balagha minal-`umri asyuddah anzalahu maulâh min sinnisy-syabâbi wal-kuhûlati muddah fanazalafâja’athul-hadhratul-ilâhiyyatu bimâ syarrafathu bihi wahdah fatalâ `alaihi bil-busyrâ min rabbil-`âlamîn `alaihir-rûhul-amîn lisânudz-dzikril-hakîm syâhida (wa innaka latulaqqal-qur’âna min ladun hakîm `alîm) fakâna awwala mâ nazala `alaihi min tilkal-hadhrati min  qauluhu ta`âlâ: (iqra’ bismir-rabbikal-ladzî khalaq jawâmi`il-hikam alladzî `allama iqra’ wa rabbukal-akram khalaqal-insâna min `alaq famâ a`zhamahâ min `allâmal-insâna mâ lam ya`lam) bil-qalam ilâ min hadhratil-imtinân bisyâratin aushalathâ yadul-ihsân  wa ayyadathâ bisyâratu (arrahmânu `allamal-qur’ân hâdzal-insân wa lâ syakka annahu shalal-lâhukhalaqal-insâna `allamahul-bayân) min`alaihi wa sallama huwal-insânul-maqshûdu bihâdzat-ta`lîm hadhratir-rahmânir-rahîm

Allâhumma shalli wa sallim asyrafash-shalâti wat taslîm
`alâ sayyidinâ wa nabiyyinâ Muhammadinir-ra’ufir-rahîm

Tsumma innahu ba`da mâ nazala `alaihil-wahyul-balîgh fada`al-khalqa ilal-lâhi `alâtahammal-a`bâ’ad-da`wati wat-tabligh  fa’ajâbahu bil-idz`âni man kânat lahu bashîratun munîrah bashîrah tasyarrafawa hiya ijâbatun sabaqat bihal-aqdhiyyatu wal-aqdâr wa qad akmalal-lâhu bihimmatibis-sabqi ilaihal-muhâjirûna wal-anshâr wa akbata bisyiddati ba’sihimhâdzal-habîbi wa ashhâbihi hâdzad-dîn fazhahara `alâ yadaihi minqulûbal-kâfirîna wal-mulhidîn mâ yadullu `alâ annahu asyrafu ahlil-ardhi`azhîmil-mu`jizât wa wa bur’ul-`alîl  faminhâ taktsîrul-qalîl was-samâwat wal-ikhbâru wan-syiqâqul-qamar  wa thâ`atusy-syajar taslîmul-hajar  wa hanînul-jidz`il-ladzî huwa min khawâriqil-`âdât bil-mughayyabât ilâ bin-nubuwwati war-risâlah wa syahâdatu dhabbi lahu wal-ghazâlah allatî wa gharâ’ibil-mu`jizât ghairi dzâlika min bâhiril-âyât wa khashshashahu bihâ min bainiayyadahul-lâhu bihâ fî risâlatih hiya wa qad taqaddamat lahu qablan-nubuwwati irhâshât bariyyatih wa ma`a zhuhûrihâ`alâ nubuwwatihi wa risâlatihi min aqwal-`alâmat wa syaqiyawan-tisyârihâ sa`ida bihash-shâdiqûna minal-mu’minîn wa talaqqâhâbihâl-mukadzdzibûna minal-kâfirîna wal-munâfiqîn  kullu dzî qalbin salîm bit-tashdîqi wat-taslîm

Allâhumma shalli wa sallim asyrafash-shalâti wat taslîm
`alâ sayyidinâ wa nabiyyinâ Muhammadinir-ra’ufir-rahîm

Wa mi`râjuhuminasy-syarafil-ladzî ikhtashshal-lâhu bihi asyrafa rasûl wa zhuhûru ayâtil-lâhil-bâhirati fîilâ hadhratil-lâhil-barril-washûl wa tasyarrufus-samâwâti wa man fauqahunna bi’isyrâqidzâlikal-mi`râj faqad `arajal-habîbu shallal-lâhu `alaihi wanûri dzâlikas-sirâj  ilâ hadhratil-malikil-jalîl sallama wa ma`ahul-amînu jibrîl famâ min samâ’in walajahâ illa wa bâdarahuma`at-tasyrîfi wat-tabjîl wa kullu rasûlin marraahluhâ bit-tarhîbi wat-takrîmi wat-ta’hîl basysyarahu bimâ `arafahu min haqqihi `indal-lâhi wa syarîfi`alaih wa washala ilâ hattâ jâwazas-sab`ath-thibâq manzilatihi ladaih  nâzalathu minal-hadhratil-ilâhiyyah hadhratil-ithlâq wa wa wâjahathu bit-tahiyyât ghawâmirun-nafahâtil-qurbiyyah wa nâdathu wa aulathu jamîlal-hibât akramathu bijazîlil-`athiyyât ba`da an atsnâ `alâ tilkal-hadhratibisyarîfit-taslîmât faya lahâ minbit-tahiyyatil-mubârakâtish-shalawâtith-thayyibât  wa tajalliyâtin `âliyâtin fî hadharâtin bâhirât nafahâtin ghâmirât wa wa tatalaqqâ `awâthifar-rahmât tasyhadu fîhâdz-dzâtu lidz-dzât sawâbighal-fuyûdhâti bi’aidil-khudhû`i wal-ikhbât
Rutabun tasquthul-amâniyyu hasrâ
Dûnahâ mâ warâa hunna warâu
`Aqalal-habîbu shallal-lâhu `alaihi wa sallama fî tilkal-hadhrati min sirrihâ mâ `aqal  fa auhâ ilâ `abdihî mâ auhâ  wat-tashala min `ilmihâ bimat-tashal  famâ hiya illa minhatun khashshashat bihâmâ kadzabal-fu’âdu mâ ra’â wa aulathu min `awâthifihar-rahîmati hâdzal-insân hadhratul-imtinân wa tilka mawâhibu lâmâ ya`jizu `an hamlihits-tsaqalân wa lâ tastathî`ul-alsunu anyajsurul-qalamu `alâ syarhi haqâ’iqiha khashshashat bihal-hadhratul-wâsi`ahtu`riba `an khafiyyi daqâ’iqiha falâ yathma`u hâdzihil-`ainan-nâzhirata wal-udzunas-sâmi`ah  wal-ihâthati bisyuhûdi nûrihathâmi`un fil-iththilâ`i `alâ mastûriha wa rutbatun `azzat fa innahâ hadhratun jallat `an nazharin-nâzhirîn   fahanî-an lilhadhratil-muhammadiyyah `alâ ghairi sayyidil-mursalîn wa bulûghuhâ ilâmâ wâjahahâ min `athâyal-hadhratil-ahadiyyah hâdzal-maqâmil-`azhîm

Allâhumma shalli wa sallim asyrafash-shalâti wat taslîm
`alâ sayyidinâ wa nabiyyinâ Muhammadinir-ra’ufir-rahîm

wa mâWa haitsu tasyarrafatil-asmâ`u bi’akhbari hâdzâl-habîbil-mahbûb hashala lahu minal-karâmati fî `awâlimisy-syahâdati wal-ghuyûb taharrakat himmatul-mutakallimi ilâ nasyri mahâsini khalqi liya`rifas-sâmi`u mâ akramahul-lâhu bihihâdzas-sayyidi wa akhlâqih minal-washfil-hasani wal-khalqil-jamîlil-ladzî khashshashathu bihi falyuqâbilis-sâmi`u mâ umlîhi `alaihi min`inâyatu khallâqih fa innahu saufa yajma`uhu minsyarîfil-akhlâqi bi’udzunin wâ`iyah falaisa yusyâbihuaushâfil-habîbi `alar-rutbatil-`âliyah wa lâ yaqifu ahadunhâdzas-sayyida fî khalqihi wa akhlâqihi basyar min asrâri hikmatil-lâhi fî khalqihi wa khuluqihi `alâ `ainin wa lâ thaba`athu `alâ akhlâqin fa innal-`inâyatal-azaliyyah atsar falaqad kâna wa aqâmathu fî shûratin hasanatin badriyyah saniyyah abyadhal-launishallal-lâhu `alaihi wa sallama marbû`al-qâmah wâsi`al-jabîni hasanahu sya`rahu bainal-jummatimusyarrâban bihumrah  wa lahul-i`tidâlul-kâmilu fî mafâshilihi wa athrâfih wal-wafrah lam ya’ti basyrunwal-istiqâmatul-kâmilatu fî mahâsinihi wa aushâfih qad fî mahâsini nazharihi wa sam`ihi wa nuthqih `alâ mitsli khalqih  fîhâ jamî`ul-mahâsini mahshûrah khalaqahul-lâhu `alâ ajmali shûrah idzâ takallama natsara minal-ma`ârifi wal-`ulûmiwa `alaihâ maqshûrah nafâ’isad-durar wa laqad ûtiya min jawâmi`il-kalimi mâ `ajaza `anil-ityâni bimitslihi mashâqi`ul-bulaghâ’i minal basyar falâ tajidutatanazzahul-`uyûnu fî hadâ’iqi mahâsini jamâlih makhlûqan fil-wujûdi `alâ mitsâlih

Sayyidun dhihkuhut-tabassumu wal-masy
yul-huwainâ wa naumuhul-ighfâ’u
mâ siwâ khulqihin-nasîmu wa lâ ghai
ru muhayyahur-raudhatul-ghanna’u
rahmatun kulluhu wa hazmun wa `azmun
wa waqârun wa `ishmatun wa hayâ’u
mu`jizul-qauli wal-fi`âli karîmu
alkhalqi wal-khulqi muqsithun mi`thâ’u
Wa fayafûtu sarî`al-masyyiidzâ masyâ faka’annamâ yanhaththu min shabab fa huwal-kanzul-muthalsamul-ladzmin ghairi khabab î lâ ya’tî `alâ wal-badrut-timmul-ladzî ya’khudzul-albâbafathi bâbi aushâfihi miftâh idza takhayyalathu au sanâhu lahâ lâh
habîbun yaghârul-badru min husni wajhihi
tahayyaratil-albâbu fî washfi ma`nâhu
famâdzâ au yudrikul-fahmu ma`nâyu`ribul-qaulu `an washfin yu`jizul-wâshifîn dzâtin jallat an yakûna lahâ fî washfihâ musyârikun au qarîn

Kamulat mahâsinuhu falau ahdas-sanâ
lilbadri `inda tamâmihi lam yukhsafi
wa `alâ tafannuni wâshifîhi biwashfihi
yafnazzamânu wa fîhi mâlam yûshafi
 wa ausa`a fadhlahul-`amîm famâ ajalla qadrahul-`azhîm

Allâhumma shalli wa sallim asyrafash-shalâti wat taslîm
`alâ sayyidinâ wa nabiyyinâ Muhamadinir-ra’ufir-rahîm

Wa laqadit-tashafa shallal-lâhu `alaihi wa sallama min mahâsinil-akhlâq kâna shalla-lâhu `alaihibimâ tadhîqu `an kitâbatihi buthûnul-aurâq wa awwalahum ilâwa sallama ahsanan-nâsi khuluqan wa khalqâ  wa ausa`ahum bil-mu’minîna hilman wa rifqâ makârimil-akhlâqi sabqâ  lâ yaqûlu wa lâ yaf`alu illâ ma`rûfâ barran ra’ufâ idzâ wal-lafzhul-muhtawî `alal-ma`nal-jazl lahul-khuluqus-sahl wada`âhul-miskînu ajâbahu ijâbatan mu`ajjalah wa lahu ma`ahuwal-abusy-syafîqur-rahîmu bil-yatîmi wal-armalah allatî tarta`idu minhâsuhûlâti akhlâqihil-haibatul-qawiyyah wa min nasyri thîbihifarâ’ishul-aqwiyâ’i minal-bariyyah wa bi`arfi dzikrihita`aththaratith-thuruqu wal-manâzil fahuwa shalla-lâhu `alaihi watathayyabatil-majâlisu wal-mahâfil wal-munfaridu fî khalqihi wasallama jâmi`ush-shifâtil-kamâliyyah famâ min khuluqin fil-bariyyatikhuluqihi bi asyrafi khushûshiyyah  illâ wa huwa mutalaqqan `an zainil-wujûd mahmûd

Ajmaltu fi washfil-habîbi wa sya’nihi
wa lahul-`ulâ fî majdihi wa makânihi
aushâfu `izzin qad ta`âlâ majduha
akhadzat `alâ najmis-suhâ bi`inânihi
Wa qadinbasathal-qalamu fî tadwîni mâ afâdahul-ilmu min waqâ’i`i wa hikâyati mâ akramal-lâhu bihimaulidin-nabiyyil-karîm hâdzal-`abdal-muqarraba minat-takrîmi wat-ta`zhîmi wal-khuluqil`azhîm wa fî hâdzal-maqam fahasuna minnî an umsika a`innatal-aqlâm  alâ sayyidil-anâm aqra’as-salâm
Assalâmu `alaika ayyuhan-nabiyyu wa rahmatul-lâhi wa barakâtuhu (tiga kali)
 fa`alaihi afdhalush-shalâti wat-taslîm wa bidzâlika yahsunul-khatmu kamâ yahsunut-taqdîm

Allâhumma shalli wa sallim asyrafash-shalâti wat taslîm
`alâ sayyidinâ wa nabiyyinâ Muhamadinir-ra’ufir-rahîm

Walamma nazhamal-fikru min darâriyyil-aushâfil-Muhammadiyyati `uqûdâ tawajjahtu ilal-lâhi mutawassilan bisayyidî wa habibîbî Muhammadin shalla-lâhu `alaihi wa sallama an yaj`ala sa`yî fîhi masykûran wa fi`lî wa wa an yaktuba `amalî fil-a`mâlil-makqbûlah fîhi mahmûdâ tawajjuhî fit-tawajjuhâtil-khâlishati wash-shilâtil-maushûlah wa `alâallâhumma yâ man ilaihi tatawajjahul-âmâlu fata`ûdu zhâfirah bâbi `izzatihi tuhaththur-rihâlu fataghsyâhâ minhul-fuyûdhâtul-ghâmirah  sayyidil-mursalîn  bi’asyrafil-wasâ’ili ladaik  natawajjahu ilaik  sayyidinâ Muhammadinil-ladzî `ammat`abdikash-shâdiqil-amîn An tushalliya wa tusallima `alârisâlatuhul-`âlamîn wa wa hafîzhi sirrik  mustauda`i amânatik tilkadz-dzâtil-kâmilah al-mahbûbi laka al-abil-akbar hâmili râyati da`watikasy-syâmilah fî kulli mauthinin minwal-mukhashshashi bisysyarafil-afkhar wa sâqî qâsimi imdâdika fî `ibâdik mawâthinil-qurbi wa mazhhar wa sayyidil-kaunain ku’ûsi irsyâdika liahli widâdik al-makhshûshi minka al-`abdil-mahbûbil-khâlish asyrafits-tsaqalain Allâhumma shalli wa sallim `alaihi wa `alâbi ajallil-khashâ’ish Allâhumma wa ahli hadhratiqtirâbihi min ahbâbih âlihi wa ashhâbih wa natawassaluinnâ nuqaddimu ilaika jâha hâdzan-nâbiyyil-karîm an tulâhizhanâ fî harakâtinâ wailaika bisyarafi maqâmihil-`azhîm wa an tahfazhanâ fî jamî`i athwârinâ wasakanâtina bi `aini `inayatik wa an wa hashîni wiqâyatik taqallubâtinâ bijamîli ri`âyatik tuballighanâ min syarafil-qurbi ilaika wa ilâ hâdzal-habîbi ghâyata wa tataqabbala minna mâ taharraknâ fîhi min niyyatinâ waâmâlinâ wa wa taj`alanâ fî hadhrati hâdzal-habîbi minal-hâdhirîn a`mâlinâ wa lihaqqika wa haqqihifî tharâ’iqit-tibâ`ihi minas-sâlikîn (Allâhumma) inna lanâ wa li`ahdika minal-hâfizhîn minal-mu’addîn wa zhunûnan jamîlatanathmâ`an fî rahmatikal-khâshshati falâ tuhrimnâ âmannâ bika wa birasûlika wahiya wasîlatunâ ilaika falâ tukhayyibnâ an wa tawajjahnâ bihi ilaika mustasyfi`în mâ jâ’a bihi minad-dîn  wal-musî’a bil-ihsân tuqâbilal-mudzniba minnâ bil-ghufrân wa an taj`alana wal-mu’ammila bimâ ammal was-sâ’ila bimâ sa’al wa wa wâlâhu wa zhâharah mimman nashara hâdzal-habîba wa wâzarah wa ahla`umma bibarakatihi wa syarîfi wijhatihi aulâdanâ wa wâlidînâ wal-mu’minîna wa jamî`al-muslimîna wal-muslimât quthrinâ wa wâdîna wa adim rayatad-dînil-qawîmi fî fi jamî`il-jihât wal-mu’minât wa ma`âlimal-islâmi wal-îmâni bi’ahlihâjamî`il-aqthâri mansyûrah  waksyifillâhumma kurbatal-makrûbîn  ma`nan wa shûrah ma`mûrah wansyur wa taqabbal taubatat-ta’ibîn waqdhi dainal-madînîn wakfi syarral-mu`tadînarahmataka `alâ `ibâdikal-mu’minîna ajama`în wab-suthil-`adla bi wulâtil-haqqi fi jamî`in-nawâhîwazh-zhâlimîn wa ayyidhum bita’yîdin min `indika wa nashrinwal-aqthâr waj-`alnâ yâ rabbi`alal-mu`ânidîna minal-munâfiqîna wal-kuffâr wa fil-hirzil-makînifil-hishnil-hashîni min jamî`il-balâya wa adimnâ fil-`amali bithâ`atikaminadz-dzunûbi wal-khathâya wa idzâ tawaffaitanâ fatawaffanâwash-shidqi fî khidmatika qâ’imîn wa shalli wakhtim lanâ minka bikhairin ajma`în muslimîna mu’minîn lil-ajsâmi wal-arwâhi wal-qulûbwa sallim `alâ hadzal-habîbil-mahbûb wa âkhiru da`wânâ wa `alâ âlihi wa shahbihi wa man ilaihi mansûb  anil-hamdu lillâhi rabbil-`âlamîn